Subkultur merupakan perkumpulan kelompok masyarakat yang memiliki nilai, gaya hidup, dan praktik budaya yang berbeda dari budaya dominan di lingkungan masyarakat. Keberadaan subkuktur adalah hasil dari respons terhadap ketidakpuasan terhadap norma mainstream, di mana anggota dari bagian subkultur membentuk identitas kolektif melalui simbol, bahasa, atau gaya berpakaian yang khas dengan keunikannya. Subkultur juga menciptakan ruang bagi seseorang untuk dapat mengekspresikan diri mereka, dengan menjalani kehidupan yang lebih autentik dan menemukan komunitas yang mendukung kehidupan tersebut. Maka dari itu, subkultur tidak hanya sekadar kelompok sosial, tetapi juga memiliki peran sebagai sarana untuk memberikan perlawanan terhadap tekanan budaya yang ada. Menurut para ahli, yaitu Clarke, Hall, Jefferson, dan Roberts (1976), subkultur yang memiliki fungsi untuk berekspresi kaum muda dapat dipandang sebagai perwujudan dari resistensi simbolik dari kelas pekerja terhadap budaya mainstream dan parent culture. Sehingga dalam hal ini, subkultur menjadi sarana bagi generasi muda untuk menantang adanya norma dan nilai yang dianggap tidak memadai, serta menciptakan identitas yang lebih sesuai dengan pengalaman dan aspirasi mereka. Resistensi tersebut diekspresikan melalui cara berpakaian, musik, dan juga perilaku-perilaku yang membedakan mereka dengan generasi yang lain, dan akhirnya menciptakan sebuah dinamika yang luas dalam interaksi budaya.
Keberadaan subkultur sendiri sudah ada sejak lama, hal ini dikarenakan subkultur lahir dari adanya perasaan bahwa seseorang merasa tidak cocok dengan keberadaan yang mereka alami pada saat tertentu dan hal ini juga terjadi dengan orang lain, sehingga membentuk kelompok atau komunitas yang berisikan perkumpulan orang-orang yang memiliki pandangan yang sama terkait dengan nilai, norma, dan gaya hidup yang berbeda dengan nilai dan norma dominan yang ada di lingkungan masyarakat. Lebih lanjut lagi, biasanya kesamaan pandangan mereka ini dikarenakan berasal dari latar belakang yang sama, seperti usia, etnis, dan kelas sosial. Tidak hanya berdasarkan latar belakang saja, tetapi juga terkait dengan kesamaan minat dan juga hobi. Hal tersebut merupakan faktor utama dalam menentukan dan mengidikatorkan bahwa seorang individu merasa bahwa diri mereka harus mencari perkumpulan yang sesuai dengan preferensi mereka. Dewasa ini, seiring dengan semakin banyaknya penduduk, maka semakin banyak orang yang memiliki preferensi dan pandangan yang berbeda, sehingga keberadaan subkultur juga semakin banyak sub nya. Misalnya, jika di tahun 1950-an akhir budaya musik rock mulai menjadi populer, seiring bertambahnya waktu juga menghasilkan sub-sub dari budaya ini. Lalu berlanjut di tahun 1960-an akhir dan 1970-an dimana subkultur punk mulai muncul ke permukaan masyarakat walaupun sebenarnya di masa tersebut punk lebih mengarah sebagai counter culture yang merasa bahwa mereka perlu menentang adanya aturan yang ada pada sistem masyarakat. Satu dekade berlalu dari awalnya muncul subkultur punk yang diekspresikan melalui musik punk, kembali lahir musik alternatif dari punk yang sebelumnya merupakan alternatif dari musik rock, genre musik ini dikenal dengan musik pop-punk, akan tetapi genre musik ini belum terlalu diklasifikasikan karena punk movement masih sangat hangat dalam dekade tersebut. 10 tahun lebih berlalu, punk lama kelamaan sudah tidak terlalu menjadi kelompok yang menentang peraturan dan mulai lebih mengarah menjadi subkultur secara perlahan lahan, hal ini ditandai dengan keberadaan genre musik baru di pertengahan 1980-an di mana lahir genre musik grunge. Genre ini merupakan hasil dari kombinasi musik punk dengan tempo yang cepat dan musik heavy metal dengan riff gitar yang berat selayaknya musik heavy metal, namun yang menjadi pembeda utama dengan musik punk adalah liriknya, dimana lirik dari musik grunge lebih mengenai perasaan diri sendiri terkait dengan depresi dan kekecewaan terhadap hidup mereka. Tidak begitu lama, di tahun 1990an akhir barulah muncul genre musik pop-punk yang sudah terklasifikasi, hal ini ditandai dengan lirik mereka yang relevan dengan remaja terkait dengan pengalaman ataupun permasalahan-permasalahan yang mereka alami. Dari genre musik pop-punk ini lama-lama melahirkan subkultur baru yang disebut sebagai emo. Jadi dengan demikian, subkultur itu sebenarnya sudah ada sejak lama, namun jumlahnya tidak sebanyak sekarang dan perkembangan ini terjadi karena adanya pengaruh dari subkultur sebelumnya, seperti subkultur emo yang lahir karena adanya punk, bahkan dalam beberapa kasus subkultur menjadi meledak dan populer sehingga tidak dapat dianggap sebagai subkultur, seperti rocker yang menjadi populer di 1980-an padahal di tahun 1950-an merupakan subkultur.
Sementara itu saat ini dengan begitu banyaknya subkultur yang lahir terkait dengan kesamaan hobi yang menciptakan komunitas, seperti komunitas gaming, cosplay, pecinta serial tertentu, dan masih banyak lagi. Tetapi apakah pemuda-pemuda ini jika dilihat dari apa yang terjadi saat ini, sebenarnya banyak pemuda yang memaksakan diri mereka untuk mengklasifikasikan diri mereka ke dalam suatu subkultur. Fenomena ini terjadi karena sifat dasar pemuda yang masih haus akan validasi agar dianggap keren. Dalam fenomena yang terjadi di masyarakat, ketika dilihat dari sudut pandang Jean Baudrillard bahwa media menjadi faktor utama permasalahan ini. Baudrillard melihat bahwa dalam masyarakat kontemporer, konsumsi mulai berubah menjadi arena sosial yang mengedepakan simbol-simbol sebagai identitas dan nilai. Ia juga merasa bahwa saat ini mulai memasuki masa simulasi, hal ini ditandai dengan sesuatu yang nyata dan yang tidak nyata semakin sulit dibedakan, terutama dalam kasus pemuda yang terjebak dalam mencari validasi. Mereka memaksakan diri mereka bahwa mereka tergabung dalam suatu subkultur, padahal seharusnya dalam proses terbentuk dan bergabungnya seseorang ke dalam subkultur terjadi karena pengalaman yang otentik, tetapi pemuda tidak peduli dengan hal ini, mereka hanya ingin dianggap keren oleh teman sebaya mereka. Sehingga mengakibatkan hilangnya makna sesungguhnya dari suatu subkultur, dampak dari orang-orang yang fokus mengejar simbol-simbol yang terlihat dalam bentuk gaya berpakaian misalnya, jadi mereka tidak tahu menahu mengenai nilai-nilai dasar dari subkultur tersebut. Padahal nilai-nilai yang  ada dalam suatu subkultur memiliki fungsi sebagai identitas mereka, tetapi malah meredup pemaknaannya menjadi dianggap bahwa simbol merupakan penanda status sosial seseorang. Keberadaan pemuda yang berusaha agar mereka dianggap ke dalam subkultur tertentu terkadang terjebak dalam keadaan untuk memperoleh pengakuan dengan mencoba untuk menggali makna dan nilai suatu subkultur. Hal ini mengakibatkan pemuda yang berusaha membangun identitas dan makna yang otentik, malah terjebak dalam simulasi yang membuat diri mereka dalam subkultur tertentu hanya sebatas mengejar validasi. Dengan begitu, melalui pandangan Baudrillard mengenai pemuda yang mengkonsumsi simbol menunjukan bahwa pemuda berusaha menggunakan simbol sebagai cara untuk membangun relasi sosial dengan mendapatkan pengakuan dan disaat yang bersamaan berpotensi mengancam identitas yang dimiliki oleh suatu subkultur.
Selain itu, dalam kehidupan simulasi yang tanpa sadar dijalani oleh pemuda disebabkan karena adanya media sosial yang mendorong kehidupan simulasi tersebut. Media sosial memberikan akses kemudahan untuk memperoleh berbagai macam informasi mengenai berbagai macam gaya hidup yang ada di berbagai belahan dunia. Adanya eksposur yang terlalu berlebihan terhadap konten yang dilihat memang dapat memberikan dampak yang positif dalam membentuk persepsi diri, akan tetapi juga berisiko membangun krisis identitas untuk seorang pemuda. Keterikatan manusia dengan media sosial memang sudah tidak dapat dipungkiri lagi, terutama pemuda, mereka lebih mudah terjebak dalam kehidupan yang palsu dengan membentuk citra yang palsu demi diakui dalam kehidupan bersosial. Akhirnya hal tersebut membuat mereka terjebak dalam krisis identias, sehingga pemaknaan dan esensi dari informasi mengenai subkultur yang mereka temui di media sosial menjadi hilang dengan mengedapankan simbol yang biasanya berupa gaya berpakaian sebagai perwujudan dari penanda status sosial. Sementara itu dampak buruk selanjutnya dari media sosial yang secara terus-menerus dikonsumsi berdampak pada gangguan mental berupa depresi, pemuda yang mengejar pengakuan dapat tertekan oleh diri mereka sendiri bahwa mereka harus tampil dengan sempurna agar orang-orang dapat menerima ddiri mereka. Pemuda yang merasa tidak puas dengan pengakuan yang baru mereka dapatkan melahirkan siklus dengan memperjuangkan ekspektasi orang lain terhadap diri mereka, dan akhirnya mereka terjebak lebih dalam dengan tertutupnya diri mereka untuk menemukan identitas seseungguhnya yang mereka miliki.
Contoh nyatanya yang terjadi di Indonesia pada saat ini adalah ketika banyak pemuda yang sadar mengenai pentingnya berpenampilan baik melalui informasi yang mereka dapatkan dari media sosial. Dengan dasar seperti ini membuat mereka mulai mencari-cari inspirasi mengenai apa saja gaya pakaian yang dapat mereka terapkan, perilaku ini nantinya juga akan mendorong aktivitas konsumtif di kalangan pemuda. Inspirasi-inspirasi yang mereka dapatkan dari influencer fashion di sosial media mendorong mereka untuk membeli pakaian-pakaian tertentu agar dapat berpenampilan baik. Akan tetapi, di Indonesia sendiri muncul istilah gaul yang disebut skena yang sudah ada hampir dua tahun dan juga istilah yang terbaru disebut kalcer (pelesetan dari kata culture), kedua istilah ini muncul dari pemaknaan yang diberikan dari masyarakat untuk melabelkan seseorang yang berpenampilan berbeda dengan penampilan mainstream atau bahkan hanya sekedar mengerti cara berpenampilan dengan baik. Ditambah lagi, kedua istilah ini sering dibawakan oleh influencer fashion yang mengakibatkan kedua istilah ini dianggap keren oleh pemuda apa bila mereka dapat menjadi seseorang yang skena atau kalcer. Sayangnya keberadaan influencer-influencer tersebut hanya memberikan inspirasi berpakaian yang mereka temukan dari influencer luar negeri tanpa membahas pemaknaan dari atau sekedar menjelaskan apa nama dari gaya berpakaian tersebut. Karena sebenarnya kebanyakan inspirasi yang diberikan merupakan bentuk-bentuk penampilan dari hasil subkultur, misalnya yang paling sering muncul adalah subkultur hip-hop yang lahir dari jalanan sehingga erat kaitannya dengan gaya berpakaian streetwear. Subkultur hip-hop merupakan subkultur yang lahir pada tahun 1970-an ditandai dengan orang-orang yang berasal dari jalanan dengan mengekspresikan diri mereka mengenakan pakaian yang gombrong dan sepatu kets atau yang disebut sneakers. Sayangnya, banyak orang-orang terutama pemuda menganggap segala sesuatu yang mereka pernah lihat di sosial media mengenai seperti apa kategorisasi skena, menganggap ekspresi subkultur seperti hip-hop dianggap skena. Selain itu, karena kemudahan dalam mencari pakaian yang seperti penampilan subkultur dari hip-hop menghasilkan banyak pemuda membeli pakaian yang mirip dengan subkultur ini, dimulai dari pakaian yang gombrong, sepatu yang bahkan terkadang palsu demi memperoleh simbol, sampai ke aksesoris ala hip-hop seperti headband atau durag dan lain sebagainya. Hal ini menjadi salah satu bukti lunturnya subkultur dalam kasus subkultur yang besar karena kemudahan dan kenyamanan dalam mengusahakan diri mereka menjadi mirip dengan ekspresi yang diciptakan oleh hip-hop. Lebih dalam lagi, karena hip-hop juga mengekspresikan diri mereka melalui musik, banyak pemuda yang juga berusaha untuk menggali genre musik ini dengan mendengarkan lagu-lagu populer dari genre hip-hop tanpa tahu makna lirik dan historis dari musik hip-hop atau sekedar musisinya sendiri, mereka hanya mengejar validasi demi dianggap keren karena sekedar mengetahui lagu hip-hop yang populer dari tiktok yang menjadi tren dan menggunakan lagu tersebut dalam postingan sosial media mereka.
Jadi, sebenarnya dalam kasus subkultur hip-hop ini tidak berarti menghilang tetapi lebih ke tergeser pemaknaan dari subkultur tersebut. Mirisnya, ketergeseran ini dapat dikatakan seharusnya tidak terjadi ketika melihat nilai historis dari subkultur hip-hop yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk perjuangan ras african-american dalam memberantas diskriminasi yang mereka alami. Seharusnya subkultur itu tidak dapat diganti pemaknaannya atau penyebutannya tetapi seharusnya melahirkan subkultur baru sebagai bentuk alternatif dari bentuk aslinya, seperti dari subkultur rocker ke subkultur punk lalu ke subkultur emo. Subkultur yang lahir setelah melewati beberapa dekade dan menghasilkan subkultur alternatif tersebut barulah dapat dianggap menjaga keberadaan subkultur sebelumnya, walaupun memang pada awalnya mendapat pandangan negatif dengan disebut sebagai poser karena berusaha melahirkan subkultur alternatif yang baru. Tetapi mereka memiliki gaya yang benar-benar berbeda dan memiliki nilai historis yang otentik, berbeda dengan hanya menjiplak ekspresi suatu subkultur lalu diganti dengan istilah gaul. Dengan pembawaan dan kesan gaul tersebut memberikan dorongan para pemuda agar mereka dapat terlihat keren dan mendapat pengakuan, tanpa sadar mereka mulai menggeser nilai dan makna dari suatu subkultur. Maka dari itu, penting untuk memahami dan menggali istilah-istilah baru yang muncul pada masa ini karena terkadang istilah yang muncul tersebut tanpa disadari malah berusaha menggeser esensi dari suatu subkultur yang sebenarnya sudah lama ada di Indonesia dan masih orisinil karena saat itu adanya keterbatasan informasi sehingga tidak banyak orang yang dapat membuat hal tersebut menjadi viral sampai-sampai mengubah penyebutannya dengan istilah baru. Berbeda dengan masa sekarang, di mana informasi dapat diakses dimana saja dan membuat segala sesuatu menjadi viral, tetapi terkadang tidak memberikan informasi paling dasar, yaitu mengenai sejarah dan pemaknaannya.
Kajian Pustaka
Dawa, A., & Katoda, Y. (2025). PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS GENERASI MUDA. Triwikrama: Jurnal Ilmu Sosial, 7(3), 10-15.