Pak Anto, bukan nama sebenarnya, usia 54 tahun, seorang karyawan perusahaan telekomunikasi, terkena serangan stroke penyumbatan. Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit ternama di kota Palembang, isterinya memutuskan untuk mengeluarkannya. Karena setelah tindakan medis yang berhasil menyelamatkan jiwa suaminya pasca serangan stroke, ia merasa tindakan rehabilitasi yang dilakukan pihak rumah sakit terhadap suaminya tidak banyak hasilnya.
Saat keluar dari rumah sakit, lumpuh tubuh sebelah kiri yang diderita pak Anto pasca stroke masih belum ada perubahan. Tubuhnya masih terbaring lemah. Kaki dan tangan kirinya yang lumpuh masih belum bisa digerakkan, hatta untuk menggerakkan jari-jarinya sekalipun. Jangankan untuk berdiri, untuk duduk pun ia harus dibantu dan tubuhnya harus disandarkan ke dinding. Kalau tidak tubuhnya akan terkulai dan terguling ke sebelah kiri, karena otot gluteus (bokong) sisi kirinya belum kuat benar untuk menyangga berat tubuhnya. Lidah dan rahangnya pun masih kaku, sehingga suara bicaranya terdengar tidak jelas, lebih sebagai suara gumaman.
Saat pertama kali mengunjunginya, di samping anggota tubuhnya yang lumpuh, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Yaitu kondisi kejiwaannya yang terguncang seperti terlihat dari raut wajahnya yang diliputi kesedihan mendalam, bercampur rasa kecewa dan marah menjadi satu. Kelihatannya Ia belum bisa menerima kenyataan melihat tubuhnya yang kini lumpuh. Tatapan matanya kosong, tanpa semangat. Ia menyalami tangan saya dengan acuh tak acuh, saat saya mengenalkan diri. Dengan suara bicara tidak jelas, ia mengeluhkan kondisinya dengan selalu mengulang-ulang perkataan “Mengapa saya bisa seperti ini!”.
Mengapa kondisi kejiwaan penderita stroke menarik perhatian saya? Karena berdasarkan pengalaman klinis, penderita yang jiwanya tergoncang, biasanya akan sulit dan merepotkan bila diterapi rehab stroke. Andaikan dipaksakan program rehab stroke yang diterapkan akan menjadi tidak efektip dan lambat. Dengan kata lain guncangan jiwa bisa menjadi penghambat dalam terapi rehab stroke. Oleh karena itulah memulihkan kondisi jiwa yang tergoncang akibat stroke menjadi syarat untuk bisa dilakukannya rehab fisik stroke.
Kondisi jiwa yang terguncang adalah hal yang wajar dialami penderita stroke. Biasanya hal ini akan berangsur-angsur pulih sejalan dengan membaiknya kondisi kesehatan penderita pasca stroke. Pulihnya kondisi kejiwaan penderita yang terguncang biasanya ditandai dengan suasana kebatinannya yang mulai menyadari dan bisa menerima kenyataan pahit yang dialaminya. Dan mereka yang mengalami goncangan jiwa yang berlarut-larut dan sulit menerimanya biasanya adalah penderita yang agak arogan, dengan latar belakang hubungan sosial yang kurang baik dan kurang taat dalam beragama.
Melihat hal ini, saya lantas membahasnya dengan isteri pak Anto. Dan saya jelaskan, bila hal ini tidak segera diatasi akan menghambat jalannya terapi rehab stroke pak Anto. Betapa terkejutnya saya, mendengar penuturannya. Ternyata pak Anto berasal dari latar belakang yang sama sekali berbeda dengan pasien-pasien penderita stroke dengan goncangan jiwa berlarut yang selama ini saya tangani.
Pak Anto orang yang taat beragama. Bukan hanya ibadah wajib, sholat tahajjud, puasa Senin dan Kamis serta infak dan shodaqoh pun rutin ia amalkan. Hubungan sosial dengan keluarga, tetangga dan rekan kerja di kantornya pun berjalan dengan baik. Bahkan ia cukup aktif dalam kegiatan pengajian dan kegiatan sosial di lingkungan kantor dan tempat tinggalnya. Kitab suci Al Qur’an pun rutin dibacanya setiap kali usai sholat subuh.
Sejak terkena serangan stroke, masih menurut isterinya, pak Anto kelihatannya sangat terpukul dan terguncang jiwanya. Ibadah sholat wajib dan baca Al Qur’an sengaja ditinggalkannya. Bila diingatkan, ia akan mengacuhkannya, pura-pura tidak mendengar dan terus menggumamkan ungkapan “mengapa saya bisa seperti ini!”. Seolah-olah ia ingin memprotes takdir Tuhan yang membuatnya lumpuh, padahal selama ini ia taat beribadah dan menjalankan kewajiban sebagai muslim dengan baik.
Kasus pak Anto ini ternyata bukan satu-satunya. Beberapa kasus serupa kemudian saya temui kembali dalam praktek akupunktur rehab stroke. Hal inilah yang membuat saya merenungkan kembali anggapan bahwa adanya hubungan kepastian antara ketaatan dalam beragama dan hubungan sosial yang baik dengan kesabaran dan sikap penerimaan terhadap kenyataan pahit yang dialaminya. Ternya mereka yang taat beragama dan memiliki hubungan sosial yang baik tidak selalu terlihat lebih sabar dan dengan mudah bisa beradaptasi dan menerima kenyataan terhadap musibah buruk yang dialaminya. Kesimpulan terakhir ini diperkuat dengan pengalaman klinis lainnya dimana saya menemui ada penderita stroke dengan latar belakang agama yang kurang taat dan hubungan sosial yang kurang baik, ternyata bisa bersabar dan menerima kenyataan atas musibah kelumpuhan yang menimpa dirinya pasca stroke.
Dalam kaitan inilah saya memandang perlunya keterlibatan sorang Ustad (guru agama), di samping Psikiater, dalam proses rehabilitasi fisik pasca stroke.
Sevel Pasar Festival, 21 Agustus 2014.
Fauzi Isman, Akupunkturis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI