Mohon tunggu...
Jahtu Widya Ningrum
Jahtu Widya Ningrum Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia

Mahasiswi Pascasarjana Ekonomi Keuangan Syariah Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Eksistensi Kharaj dan Pajak Bumi Bangunan sebagai Kontribusi Negara

6 November 2019   23:45 Diperbarui: 7 November 2019   01:06 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Negara dan sumber pendapatan negara erat kaitannya dengan pembiayaan dalam operasional pemerintahan. Sumber pendapat negara diregulasi melalui kebijakan fiskal yang terkait dengan pengaturan pendapatan dan pengeluaran suatu negara. Salah satu instrument kebijakan fiskal yaitu tanah yang keberadaanya sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanah merupakan objek yang mempunyai nilai manfaat yang besar, objek ini harus dikelola sebaik mungkin agar tidak hanya menjadi benda mati yang tidak mendatangkan manfaat. Pengenaan pajak atas manfaat tanah oleh pemerintah kepada masyarakat sudah ada sejak dulu dengan perkembangan sesuai kondisi pada masanya. Pajak atas manafaat tanah sudah ada sejak zaman setelah masa Nabi Muhammad SAW yaitu Umar Bin Khattab yang dikenal dengan istilah Kharaj.

Kharaj adalah pungutan yang dikenakan atas bumi atau hasil bumi. Potensi pendapatan ini mulai digali pada masa Umar Bin Khattab. Pada masa itu juga pertama kalinya dibangun  lembaga Kharaj atau diwan al-kharaj dalam Islam. Munculnya lembaga Kharaj dalam Islam menurut pandangan Umar yang berpikir jauh kedepan sangat diperlukan untuk mengantisipasi agar terpenuhinya kesejahteraan dan kemaslahatan umat. Pada masa Umar Bin Khattab penentuan tarif Kharaj didasarkan pada faktor-faktor antara lain kapasitas tanah dengan mengukur subur dan tidaknya, jenis tanaman, metode irigasi, letak tanah dan kemampuan pemilik tanah. Dengan demikian besar kecilnya nilai Kharaj diserahkan kepada keputusan negara. Secara umum definisi Kharaj mempunyai kemiripan dengan Jizyah. Namun pada dasarnya keduanya memiliki arti berbeda, Kharaj berarti pajak bumi sedangkan Jizyah berarti pajak kepala. Subjek atau wajib pajak Kharaj dikenakan atas orang kafir dan juga orang muslim karena membeli tanah kharajiyah. Objek Kharaj yaitu tanah yang diberlakukan pajak tetap dan hasil tanah yang diberlakukan pajak proposional terutama yang ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas apakah seseorang itu dibawah umur, budak, muslim atau non muslim.

Di Indonesia pajak yang dapat disamakan sebagai Kharaj adalah Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2002, PBB adalah pajak kebendaan dan/atau bangunan yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Di Indonesia PBB dikategorikan menjadi dua jenis berdasarkan objek pemungutannya. Pertama yaitu PBB-P2 atau pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan yang merupakan pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan dan pajak ini dikelola oleh pemerintah daerah. Kedua yaitu PBB-P3 atau pajak bumi dan/atau bangunan sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan. Berdasarkan Undang-Undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mulai 1 Januari 2014, PBB P2 telah masuk dalam kategori pajak daerah, sedangkan untuk PBB P3 masih tetap sebagai pajak pusat.

Persamaan antara kharaj dan PBB yang ada di Indonesia adalah keduanya merupakan kewajiban yang sama-sama harus dibayarkan oleh subjek yang berkewajiban kepada pemerintah. Keduanya dibebankan atas tanah/bumi yang dimiliki dan mempunyai nilai manfaat. Jika dilihat dari manfaatnya kedua hasil dari Kharaj dan PBB digunakan untuk mendukung negara dalam melakukan pelayanan-pelayanan atau fasilitas umum yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Sedangkan perbedaan keduanya dapat dilihat dari dua aspek baik subjek maupun objek dari keduanya. Subjek kharaj diberikan kepada alhludz dzimmah (non muslim) oleh pemerintah Islam dan tidak dibebankan kepada umat Islam, sedangkan PBB dibebankan kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali. Objek Kharaj dikenakan atas manfaat lahan pertanian atau lahan lainnya yang dimiliki masyarakat non muslim. Sementara objek PBB mencakup semua lahan baik bumi dan bangunan dalam artian luas.

Kharaj dan pajak mempunyai fungsi dan tujuan yang sama yaitu untuk kesejahteraan masyarakat disuatu negara. Manfaat pajak secara umum antara lain, fungsi budgeter yaitu untuk membiayai pembangunan nasional atau pengeluaran negara lainnya. Fungsi regulasi yang menjadikan pajak sebagai alat ukur untuk mengatur kebijakan sosial dan ekonomi seperti mengatur laju inflasi, mendorong kegiatan ekspor hingga menarik investasi. Fungsi distribusi yaitu pajak berfungsi mendistribusikan kesejahteraan masyarakat. Selain itu pajak mempunyai fungsi stabilitas terhadap kondisi perekonomian. Sama halnya dengan masa Umar Bin Khattab, Kharaj mempunyai tujuan untuk menjaga stabilitas perekonomian negara agar harta tidak beredar dikalangan orang-orang tertentu saja. Umar menginginkan harta tersebut bisa digunakan untuk kepentingan umat Islam dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat. Salah satu bentuk yang memberikan manfaat adalah pemungutan Kharaj yang dikelola untuk dijadikan pemasukan negara. Manfaat dari tanah tersebut bisa dirasakan secara merata dari generasi ke generasi. Inilah kebijakan yang di ambil oleh Umar Bin Khattab dengan mempertimbangkan maqashid syariah.

Jika menghubungkan antara pajak PBB yang ada di Indonesia saat ini dengan Kharaj pada masa Umar Bin Khatab maka sebagai negara yang mempunyai wilayah yang luas baik berupa tanah dan perairan merupakan sebuah potensi besar. Potensi untuk memaksimalkan pendapatan dengan membuat kebijakan yang selektif dan detail terhadap penilaian-penilaian manfaat pada objek pajak akan meningkatkan pendapatan negara. Namun pendapatan PBB yang diperoleh harus dialokasikan dengan maksimal untuk tujuan kemaslahatan umat seperti masa Umar Bin Khattab melalui peningkatan dan pemerataan fasilitas-fasilitas yang memberi manfaat dan memudahkan kehidupan warga negara. Pemerintah dalam hal ini harus bijaksana dalam mengalokasikan sumber pendapatan dari rakyat untuk kesejahteraan rakyat baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Referensi :

Budi Santosa, Purbayu dan Awaril Muttaqin, Aris. 2015. " Mashlahah Dalam Pajak (Telaah Terhadap Kitab Al-Kharaj)", Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, Vo.12, No.2

Euis Amalia. 2009, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Gramata Publishing

Nurul Huda dkk. 2012. Keuangan Publik Islam (pendekatan teoritis dan sejarah). Jakarta: Prenada

IAI (Ikatan Akuntansi Indonesia). 2019. Susunan dalam satu naskah Undang-Undang Perpajakan . Cetakan ke 34 (revisi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun