Part.9
Awan berarak di antara puncak gunung yang berebut menjamah langit
Angin yang mendesau dingin
Membawa beburungan yang melintas
Menanting ranting buat bekal sarang
Pagi masih melengang sejauh mata memandang
Suara alunan musik yang jernih menyisip di antara dedaunan dan rerantingan pohon. Beberapa pasang beburungan biasa berceloteh riang, kali ini hanya geming terkesima oleh keindahan yang mengusik pagi yang belum lama beranjak pergi.
Suara kecapi yang jernih, meniti nada-nada naik, turun, mengalun begitu mempesona tanpa cela. Tanpa sedikit pun jua nada yang lepas dari titiannya, terbukti nada indah ini muncul dari permainan sang ahli.
Petikan, jemari yang lincah, di atas kecapi mencipta instrumen magis menghanyutkan siapa saja. Menjerat ketat apa saja.
Tidak hanya beburungan, tidak pula ujung dedaunan, bahkan angin pun berhenti bertiup sejenak. Seakan enggan melepas saat memukau ini.
Dengan penuh perasaan seorang pemuda berpakaian putih dengan pakaian luar bergaris biru muda menarikan ke sepuluh jemarinya dengan halus, penuh irama membawakan kisah kerinduan. Kerinduan yang lama bersemayam di hati yang paling dalam.
Rindu kepada kedua orang tuanya yang telah tiada.
Rambut hitam panjang dibiarkan terurai di permainkan angin. Hanya sedikit di puncak kepala dirangkai halus dan diikat tali warna biru muda sewarna demgan baju luarnya yang lebar.
Wajahnya putih bersih dengan dahi yang lebar. Matanya yang tajam namun bening dipertegas dengan sepasang alis hitam melengkung seperti sepasang golok terbang. Hidungnya mancung, dengan mulut tipis yang tertarik di ujungnya.
Sesekali mulutnya tertarik senyum, mengikuti semua isi perasaan yang mengalir dari petikan senar kecapinya. Â Dagunya persegi kokoh, dengan leher yang serasi menambah pesona ketampanan dan kegagahan dalam satu sosok.
*