Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sang Pewaris (9)

26 Agustus 2019   05:29 Diperbarui: 28 Agustus 2019   05:55 41 3


Awan berarak di antara puncak gunung yang berebut menjamah langit
Angin yang mendesau dingin
Membawa beburungan yang melintas
Menanting ranting buat bekal sarang
Pagi masih melengang sejauh mata memandang





Suara alunan musik yang jernih menyisip di antara dedaunan dan rerantingan pohon. Beberapa pasang beburungan biasa berceloteh riang, kali ini hanya geming terkesima oleh keindahan yang mengusik pagi yang belum lama beranjak pergi.

Suara kecapi yang jernih, meniti nada-nada naik, turun, mengalun begitu mempesona tanpa cela. Tanpa sedikit pun jua nada yang lepas dari titiannya, terbukti nada indah ini muncul dari permainan sang ahli.

Petikan, jemari yang lincah, di atas kecapi mencipta instrumen magis menghanyutkan siapa saja. Menjerat ketat apa saja.

Tidak hanya beburungan, tidak pula ujung dedaunan, bahkan angin pun berhenti bertiup sejenak. Seakan enggan melepas saat memukau ini.

Dengan penuh perasaan seorang pemuda berpakaian putih dengan pakaian luar bergaris biru muda menarikan ke sepuluh jemarinya dengan halus, penuh irama membawakan kisah kerinduan. Kerinduan yang lama bersemayam di hati yang paling dalam.
Rindu kepada kedua orang tuanya yang telah tiada.

Rambut hitam panjang dibiarkan terurai di permainkan angin. Hanya sedikit di puncak kepala dirangkai halus dan diikat tali warna biru muda sewarna demgan baju luarnya yang lebar.

Wajahnya putih bersih dengan dahi yang lebar. Matanya yang tajam namun bening dipertegas dengan sepasang alis hitam melengkung seperti sepasang golok terbang. Hidungnya mancung, dengan mulut tipis yang tertarik di ujungnya.
Sesekali mulutnya tertarik senyum, mengikuti semua isi perasaan yang mengalir dari petikan senar kecapinya.  Dagunya persegi kokoh, dengan leher yang serasi menambah pesona ketampanan dan kegagahan dalam satu sosok.

*

Suara kecapi mengawang memenuhi seantero dataran sempit yang berada tepat di depan goa tempat tinggal Panembahan Tjiptadinata yang terlihat sunyi.

Hanya suara magis kecapi yang memenuhi semua ruang yang ada di pulau Seribu Gunung.

Nadanya berubah-berubah mengikuti perasaan hatinya. Naik, turun, melambat, berderap, cepat, mengalun, mengayun, dalam harmoni.

Suara kecapi berhasil memikat jerat sesatwaan yang bertengger di rerantingan. Saling bercengkerama di semak-semak. Kepalanya mengangguk-angguk bahkan tanpa sadar sesatwaan ada yang mengimbangi dengan tarian tanpa sadar.

Mentari terus bergulir lambat, mempertahankan cerlang sinar dan kehangatannya.

Menjadi latar yang syahdu suara kecapi yang terseret angin hingga jauh.

Sempati. seekor elang muda hanya meliuk-liukan lehernya bertengger di pokok batang pohon patah tidak jauh dari pemuda tampan yang sedang bermain kecapi.

Semua terlarut dalam cekaman suara kecapi sampai suatu ketika dengan cekatan melenting tinggi karena ia merasakan desingan angin yang terdorong dengan kekuatan yang dahsyat.

" Hiaaatttt... !"

" Cringggg... "
" Cringggg... "
" Crengggg... "

Lengkingan suara yang nyaring mengejutkan Sempati yang segera terbang tinggi, diikuti oleh semua satwa yang semula tersihir dalam pesona.

Pakaian, dan rambutnya terbang memapas angin. Dengan liukan dan beberapa melenting, dan berjungkir balik untuk menghindar serangan tanpa suara dan aba-aba.

Hanya kepekaan anak muda berkecapi itulah yang menyadari bahwa telah datang serangan tenaga dalam bergulung-gulung menyerangnya. Tidak hanya menghindar bahkan pemuda kecapi secara cepat membalas serangan itu dengan petikan senar kecapinya. Ia merapal ajian Irama Sukma Panca Bayu. Lima serangan tenaga dalam mengandung kekuatan inti api, inti udara, inti air, inti tanah dan inti kayu bergelombang membalas penyerang yang ternyata dilepaskan dari jarak jauh.

" Bagus. Jatmika, semakin sempurna seranganmu," suara lembut itu menyisip di antara hujan serangan balasan.

Jauh sekitar 20 tombak, terlihat Panembahan Tjiptadinata berdiri kukuh di atas punggung Jatayu si elang raksasa. Serangan tadi ia yang lepaskan untuk menguji Bambang Jatmika murid tunggalnya.

" Ah, Guru... mohon petunjuk!" suara Jatmika hormat. Sambil mempercepat serangan petikan kecapinya. Akibatnya angin menderu bagai datangnya badai melabrak ke arah Panembahan Tjiptadinata dan Jatayu.

Jatayu bukan burung elang raksasa biasa. Ia juga menguasai tata kelahi seperti manusia layaknya. Karena semenjak ada Bambang Jatmika menjadi murid Panembahan Tjiptadinata, ia lah yang menjadi lawan berlatihnya. Bahkan ilmu berkelahi itu turun kepada Sempati anaknya.

*

Lima pukulan tenaga dalam jarak jauh melabrak tempat kosong, karena Jatayu yang membawa Panembahan Tjiptadinata sudah melejit tinggi dan mengawang terbang tinggi.

Akibatnya larikan serangan yang keluar dari senar kecapi itu menghantam batu sebesar gajah di belakang mereka.

Tidak ada suara tumbukan. Tidak ada suara rekahan. Tidak ada suara apa-apa.

Tapi, tunggu!

Satu
Dua
Tiga
detik kemudian.

Batu sebesar gajah itu hancur luruh runtuh tanpa suara dan seketika debu batu terbang di bawa angin.

Betapa dahsyat ajian Irama Sukma Panca Bayu.

Batu besar itu hancur, bagaimana jika menghantam manusia?

Ini adalah ilmu rahasia yang khusus diciptakan untuk Bambang Jatmika.

Jatmika pun terkejut melihat hasil dari serangannya merapal ajian tingkat 10 dari ilmu rahasia ini.

Rapalan ajian level di bawahnya, biasa hanya membuat batu sasaran meledak dam hancur berkeping-keping.

" Jatmika..." tegur halus Panembahan Tjiptadinata yang tanpa suara sekarang telah berdiri tepat di belakang tubuhnya.

Karena takjub, kewaspadaanya sedikit berkurang jadinya.

Apakah yang kemudian terjadi setelah Bambang Jatmika dengan sempurna menguasai ilmu rahasia?

Apakah ada tugas yang dibebankan untuknya?

Bersambung....


Selamat Pagi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun