Oleh : Dr. drh. Jafrizal, MM
Hidup ini sejatinya adalah rangkaian proses --- dari telentang, tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan, hingga berlari.
Tahap-tahap itu tidak hanya milik manusia yang sedang bertumbuh, tetapi juga berlaku dalam setiap perjuangan, setiap profesi, bahkan setiap detik kehidupan.
Dan pagi itu, saya kembali belajar makna dari sebuah proses --- dari seekor sapi yang berjuang melahirkan anaknya.
Panggilan Pagi yang Mengusik Nurani
Sekitar pukul delapan pagi, telepon saya berdering. Dari seberang, suara seorang peternak terdengar panik.
"Dok, sapi saya dari kemarin siang mau beranak, tapi sampai sekarang belum keluar juga anaknya."
Nada cemasnya jelas. Sudah lebih dari 12 jam sejak tanda-tanda kelahiran muncul. Itu artinya: distokia --- kesulitan melahirkan yang bisa mengancam nyawa induk maupun anak.
Saya mencoba menghubungi petugas lapangan lain, berharap ada yang lebih dekat. Tapi satu per satu menjawab sama:
"Maaf, Dok, saya sedang di lapangan."
Akhirnya, saya berkata pelan, "Tolong jaga sapinya baik-baik dulu. Jam sepuluh saya ke sana."
Bagi sebagian orang, dua jam hanyalah waktu sebentar. Tapi bagi seekor sapi yang tengah berjuang di ambang hidup dan mati, dua jam bisa menjadi segalanya.
Saya menatap jam --- dan dalam hati berdoa, semoga saya belum terlambat.
Di Hadapan Nyawa yang Berjuang
Sesampainya di kandang, saya melihat induk itu --- seekor sapi betina besar, napasnya terengah, matanya sayu namun masih menyala oleh naluri bertahan.
Ia masih berdiri, masih berjuang, meski tenaganya jelas hampir habis.
Saat saya mendekat dan mencoba memeriksa, sapi itu meronta keras.
Refleks pertahanannya masih kuat --- pertanda baik, tapi juga menyulitkan.
Kami segera membuat kandang jepit darurat, hanya dari papan dan kayu seadanya.
Dalam kondisi seperti ini, saya belajar satu hal penting:
Kadang yang kita butuhkan bukan fasilitas sempurna, tapi keberanian dan ketenangan dalam keterbatasan.
Diagnosis: Sungsang
Saat pemeriksaan dimulai, jantung saya berdegup pelan.
Apa yang saya rasakan bukan kepala, tapi buntut.
Anak sapi itu sungsang, kepalanya berada di belakang.
Posisi seperti ini hampir pasti menyebabkan distokia.
Kalau tidak segera ditangani, bukan hanya anaknya yang terancam, tapi juga induknya bisa mengalami infeksi atau pendarahan berat.
Saya menarik napas panjang dan berkata pada peternak,
"Kita harus bantu sekarang. Tapi butuh tenaga, butuh kerja sama."
Proses yang Penuh Perjuangan
Dengan bantuan dua orang, kami mulai melakukan reposisi manual.
Saya memasukkan tangan ke dalam jalan lahir, mencari ruang sempit di antara tulang panggul dan tubuh janin.
Keringat bercucuran, otot rahim menekan kuat, dan posisi anak sulit diubah.
Setiap kali saya mencoba memutar, kontraksi datang --- menambah tekanan, membuat saya harus menahan sakit dan sabar dalam setiap gerak.
Dan di tengah perjuangan itu, hati kecil saya berbisik:
"Inilah hidup. Tidak ada jalan pintas. Tidak ada keberhasilan tanpa kesabaran."
Setelah hampir tiga puluh menit berjuang, akhirnya saya berhasil mengarahkan dua kaki belakang anak sapi ke arah luar.
Kami mengikatnya dengan tali kuat, lalu menarik perlahan mengikuti irama kontraksi induk. Tarikan pertama gagal. Tarikan kedua membuat napas kami tercekat. Dan pada tarikan ketiga, suara lirih tangisan anak sapi terdengar.
Senyum yang Tak Ternilai
Suara itu pelan, tapi hidup. Saya segera membersihkan saluran napasnya, sementara induknya mulai menjilat lembut tubuh anaknya --- naluri kasih yang tak terucap.
Peternak menatap dengan mata basah.
"Alhamdulillah, Dok... akhirnya lahir juga."
Saya hanya tersenyum.
Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorak sorai --- tapi ada kelegaan yang suci di udara pagi itu. Sebuah kehidupan baru telah lahir dari perjuangan panjang.
Pelajaran dari Seekor Sapi
Ketika seseorang sudah terbiasa berlari --- cepat, tangkas, dan merasa mampu ---kadang hidup akan memintanya untuk merangkak kembali.
Masalah, kegagalan, bahkan kesulitan sekecil panggilan darurat di kandang sapi, adalah cara Tuhan mengingatkan: bahwa proses tidak boleh dilompati.
Sapi yang sungsang itu mengajarkan saya tentang kesabaran, keikhlasan, dan kerendahan hati. Bahwa menolong kehidupan bukan hanya soal teknik, tapi tentang hati yang mau tetap berjuang walau dalam keterbatasan.
Karena hidup, seperti proses kelahiran itu, selalu meminta satu hal yang sama: Lewatilah tahap demi tahap, dengan sabar dan tabah.
Sebab, suatu saat ketika badai datang ---dan semua terasa buntu ---mereka yang pernah belajar melalui proseslah yang akan mampu memberi solusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI