Akhirnya, saya berkata pelan, "Tolong jaga sapinya baik-baik dulu. Jam sepuluh saya ke sana."
Bagi sebagian orang, dua jam hanyalah waktu sebentar. Tapi bagi seekor sapi yang tengah berjuang di ambang hidup dan mati, dua jam bisa menjadi segalanya.
Saya menatap jam --- dan dalam hati berdoa, semoga saya belum terlambat.
Di Hadapan Nyawa yang Berjuang
Sesampainya di kandang, saya melihat induk itu --- seekor sapi betina besar, napasnya terengah, matanya sayu namun masih menyala oleh naluri bertahan.
Ia masih berdiri, masih berjuang, meski tenaganya jelas hampir habis.
Saat saya mendekat dan mencoba memeriksa, sapi itu meronta keras.
Refleks pertahanannya masih kuat --- pertanda baik, tapi juga menyulitkan.
Kami segera membuat kandang jepit darurat, hanya dari papan dan kayu seadanya.
Dalam kondisi seperti ini, saya belajar satu hal penting:
Kadang yang kita butuhkan bukan fasilitas sempurna, tapi keberanian dan ketenangan dalam keterbatasan.