Sektor industri juga tak luput dari permasalahan ini. Banyak pabrik yang masih menggunakan mesin-mesin tua yang boros energi. Padahal, jika mereka mau mengadopsi teknologi yang lebih hemat listrik dan bahan bakar, biaya operasional bisa ditekan dengan signifikan. Namun, ketidakpastian kebijakan dan minimnya insentif membuat banyak pelaku industri enggan berinvestasi dalam efisiensi.
Di sektor UMKM, masalahnya berbeda lagi. Banyak usaha kecil yang seharusnya bisa berkembang lebih cepat, tetapi terkendala akses modal dan perizinan yang terlalu berbelit. Alih-alih membantu, regulasi yang ada justru memperlambat pertumbuhan mereka. Dana bantuan usaha sering kali tersendat, birokrasi pinjaman sulit ditembus, dan program bantuan pemerintah tidak selalu tepat sasaran.
Tak ketinggalan, sektor pendidikan juga mengalami inefisiensi yang mencolok. Dana BOS yang diperuntukkan bagi operasional sekolah kerap mengalami keterlambatan pencairan. Akibatnya, banyak sekolah di daerah terpencil harus bertahan dengan fasilitas seadanya. Guru-guru di pelosok pun masih harus merogoh kocek sendiri untuk membeli alat peraga atau bahkan sekadar memperbaiki ruang kelas yang rusak.
Di sektor energi, subsidi bahan bakar masih menjadi momok besar. Setiap tahunnya, triliunan rupiah dihabiskan untuk mensubsidi BBM dan listrik, tetapi manfaatnya belum terasa optimal. Alih-alih membantu masyarakat miskin, subsidi energi justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok ekonomi menengah ke atas yang konsumsi energinya jauh lebih besar.
Prabowo memulai efisiensi dari birokrasi. Tapi, saya bertanya-tanya, bisakah ini merembet ke sektor lain? Bisakah kita benar-benar menjadi negara hemat dan produktif?
Siapa Bertanggung Jawab?
Kita semua sepakat bahwa efisiensi adalah kunci kemajuan. Tapi, pertanyaannya, dari mana harus memulainya?
Tentu, yang paling utama adalah menanamkan pola pikir bahwa efisiensi bukan berarti sekadar menghemat, melainkan mengoptimalkan. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus memberikan dampak nyata. Anggaran harus direncanakan dengan matang, bukan hanya mengikuti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Tak boleh ada lagi pengeluaran seremonial yang hanya menghamburkan dana tanpa manfaat yang jelas.
Lalu, sistem birokrasi harus berubah. Jangan sampai efisiensi hanya jadi wacana, tapi realitas di lapangan tetap lamban dan berbelit. Pelayanan publik harus lebih cepat, sederhana, dan berbasis teknologi. Tidak ada lagi meja-meja yang penuh tumpukan berkas hanya karena sistem digitalisasi yang tak pernah benar-benar berjalan.
Para pejabat negara, mulai dari menteri, kepala daerah, hingga pejabat tingkat bawah, harus memberi contoh nyata. Mereka adalah motor utama dari kebijakan efisiensi ini. Jika mereka tetap mempertahankan gaya hidup mewah dengan fasilitas negara, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa efisiensi ini benar-benar diterapkan? Mereka harus menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga pelaku utama dalam perubahan ini.
Kepala daerah harus lebih mandiri dalam menerapkan efisiensi di wilayahnya. Jangan hanya menunggu arahan dari pusat. Daerah memiliki potensi dan tantangannya sendiri. Jika anggaran bisa dialokasikan lebih bijak, banyak persoalan di tingkat lokal yang bisa diselesaikan dengan lebih cepat dan tepat.