Mohon tunggu...
Umniyati Kowi
Umniyati Kowi Mohon Tunggu... Pegiat komunikasi, literasi, dan kesehatan masyarakat

Alumnus FISIP UI. Bergiat di beragam ranah komunikasi. Senang belajar. Terus Bertumbuh. Tetap berkontribusi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kolam Lele Pak Diman

18 September 2025   17:24 Diperbarui: 18 September 2025   17:24 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ayo pak. Coba ditelan lagi obatnya," Adira membujuk pelan. Pak Diman, menggeleng. Raut wajahnya kesal.

"Cukup mba. Saya engga mau muntah terus. Mba saja yang minum obatnya." Dilemparnya obat ke arah Adira.

"Ayah!! Mba Dira sudah baik sama ayah. Kenapa dilempar obat!" seru gadis berseragam putih abu-abu, putri Pak Diman.

Sita menghampiri Adira. "Maafkan ayah saya, mba."

"Tak apa, Sita. Memang hampir semua pasien TBC merasa mual minum obat. Besok saya datang lagi. Kita coba besok ya." Adira pamit.

Esoknya, Adira sudah berada di depan rumah Pak Diman. Lengkap dengan masker N95, perlengkapan standarnya sebagai PS atau patient supporter.  Ia bukan perawat. Ia kader komunitas yang ditunjuk RSUD mendampingi pasien TBC. Khususnya pasien resisten obat seperti pak Diman.

Sita membuka pintu. Terkejut melihat Adira. Sekaligus lega. Padahal ia sudah khawatir Adira tersinggung atas sikap ayahnya kemarin. Sejak divonis menderita TBC tiga bulan lalu, ayahnya berubah menjadi temperamental. Pernah sebelum Adira ada beberapa perawat dari RSUD yang sering datang ke rumahnya. Menjenguk ayah, membujuk minum obat, tapi usaha mereka tak kunjung berhasil. Akhirnya cukup lama tak pernah lagi ada perawat yang datang. Hingga kemarin, tiba-tiba muncul Adira, perempuan bertutur lembut yang mengaku sebagai patient supporter.

Adira masih berdiri di luar. Ia memandangi rumah di kiri kanan yang tampak berdempetan.

"Mba, ayo masuk. Ayah sudah di ruang tamu," panggil Sita. Adira pun masuk ke dalam rumah. Tersenyum pada Pak Diman yang duduk memakai masker.

Pak Diman berdiri. "Saya sudah bilang engga mau minum obat," katanya ketus.

"Dira engga bawa obat kok pak, hanya bawa buah pisang untuk bapak." Ia menaruh pisang di atas kursi kayu di sebelah Pak Diman. Tidak terlihat ada meja di ruang tamu itu.

Pak Diman pun duduk. Ia merasa lega tak harus minum obat. Jangankan menelan, saat obat menempel di lidahnya saja, ia ingin muntah.

"Bapak makan pisang ya, sambil nonton video ini." Adira menayangkan video di ponselnya. Kisah mantan pasien TBC yang menjadi peternak lele. Pak Diman terlihat bersemangat. Ia banyak bertanya.

"Ya, betul, pak Setelah sembuh, Pak Ali dibantu yayasan. Ia diajarkan beternak lele dan dikasih modal usaha," cerita Adira. Sebelumnya ia tau dari Sita kalau ayahnya ingin sekali menjadi peternak lele.

"Bapak mau kan punya kolam lele seperti Pak Ali?" Pak Diman mengangguk. Sorot matanya tampak bersinar.

"Nah supaya bapak bisa kuat beternak lele, bapak sembuh dulu ya. Bapak pasti sembuh kok, asal rajin minum obatnya. Minum obat tiap hari ya, pak."

Kali ini pak Diman mengangguk. Adira pun tersenyum. Ia seperti melihat senyum di balik wajah paruh baya yang tertutup masker itu.

Ia pun pamit. Misinya selesai. Berharap esok akan ada keajaiban.

Tiga hari kemudian Adira mendapat pesan singkat di ponselnya. Dari Sita. "Alhamdulillah, mba. Ayah sejak kemarin mau minum obat."

Adira bersyukur. Rasa bahagia menyelimuti hatinya.

  

***

Tiga bulan berlalu sudah. Adira sedang menstarter motornya di halaman. Ibu menghampirinya,

"Kapan kamu tes SKD?" tanya ibu.

Adira terhenyak. Hampir lupa dua minggu lagi jadwal tes SKD, alur tes CPNS yang harus ia ikuti.

"Masih dua minggu lagi kok bu," kata Adira.

"Tapi kamu harus belajar. Tes ini penting untuk mengubah hidupmu."

"Dira masih ada jadwal pendampingan pasien, bu," ujarnya. Ibu mendelik. "Mana yang lebih penting, pasien TBC atau masa depan kamu?"

Adira terdiam. Terbayang pak Dirman yang sudah tiga bulan rajin minum obat, namun masih ngambek bila Adira tak sempat menjenguk ke rumahnya. Walaupun hanya mengantar obat dan pot dahak.

Tapi Adira memahami ibu. Perempuan yang membesarkannya sendirian sejak ia masih SD. Laki-laki, yang dulu ia panggil ayah, tega meninggalkan mereka demi perempuan teman sekantornya. Hari demi hari ia menyaksikan ibu berjuang, menyekolahkannya dari hasil menjahit baju. Hingga akhirnya lima bulan lalu ia lulus sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat.

"Kemarin Lisa ke rumah. Dia ikut Bimbel CPNS untuk persiapan SKD. Kamu ikut juga ya," kata ibu. Ia mengulurkan amplop putih berisi uang.

Adira menolak halus. "Tidak usah bu. Aku masih ada honor dari RSUD."

Ibu terlihat gusar.  "Honor kamu cuma cukup untuk beli bensin dan makan bakso. Kamu kan tau biaya Bimbel CPNS tidak murah. Ambil ini!"

Adira menurut. Mengambil amplop itu, mencium tangan sang ibu, lalu pamit. Ia tak pernah bisa menyakiti hati perempuan yang sudah mengorbankan hampir seluruh jiwa dan raga untuknya.

Di perjalanan tangis Adira tumpah. Keinginannya menjadi PS memang didorong pengalamannya menjalani tugas magang di lembaga penyintas TBC. Selama kurang lebih tiga bulan ia mendampingi kader Kesehatan dan PS. Setiap minggu ia ikut datang ke rumah pasien. Membawa obat, mengobrol dengan keluarganya, atau sekedar membawa pot dahak untuk skrining. Adira terlanjur jatuh cinta dengan pekerjaan sebagai PS. Meski ia tau pendapatan menjadi pendamping pasien masih jauh di bawah standar UMP di daerahnya.

Ponselnya berdering. Lisa, teman kuliahnya mengajak datang ke Bimbel CPNS. Adira bimbang. Silih berganti terbayang wajah pak Diman dan ibunya. Sungguh dua pilihan ini terasa sulit baginya.

Akhirnya Adira mengambil keputusan. Ia memutar motor, menuju RSUD. Di sana ia bertemu pak Dedi, perawat Poli TB. Dengan suara bergetar ia menyampaikan permohonan cuti. Untungnya Pak Dedi memahami gejolak hati Adira. Ia memegang bahu gadis itu, menguatkannya. Dan berjanji akan mencarikan PS pengganti.

Di perjalanan menuju Bimbel CPNS Adira mengirim pesan singkat untuk Sita. Tak terasa berlinang air matanya saat menyatakan akan cuti sementara sebagai PS. Ia mengkhawatirkan Sita yang beberapa bulan ini sangat dekat dengannya. Penggantian PS bisa jadi akan membuat Pak Diman tak nyaman. Sementara proses pengobatan masih harus berlanjut hingga tiga bulan ke depan.

"Maafkan saya Sita. Saya percaya yang menggantikan saya juga akan menyayangi dan menguatkan ayahmu. Semoga ini yang terbaik untuk kalian ya," batin Adira.

***

Hari ini Adira tampak bersemangat. Ia bersiap mengikuti tes SKB. Hampir dua bulan sudah ia menjalani bimbingan belajar. Sebulan yang lalu ia telah dinyatakan lulus tes SKD.

Saat berjalan menuju ruang ujian, ponselnya berdering. Tertulis nama Sita di layar. Tapi ujian akan segera dimulai. Dengan hati gundah ia terpaksa mematikan ponselnya.

Dua hari kemudian, Adira baru teringat untuk menelepon Sita. Saat mengambil ponsel, terbaca notifikasi pesan di layar. "Mba, tolong datang ke RSUD. Kondisi ayah memburuk."

Dada Adira terasa bergemuruh. Ia segera memacu kencang motornya menuju RSUD.

Ia mempercepat langkahnya menuju Poli TB. Bertemu pak Dedi. Raut wajah perawat itu tampak murung. Ia mengabarkan Pak Diman sudah seminggu dirawat di ruang ICU. Komplikasi Diabetes Melitus memperparah penyakitnya.

Tanpa kata Adira langsung berlari secepat mungkin. Di depan ruang ICU ia melihat Sita. Duduk menangis, ditemani perempuan paruh baya. Bukan ibunya. Karena ibu Sita sudah berpulang tiga tahun lalu.

Adira memeluk Sita. Tak berapa lama seorang perawat keluar dari ruang ICU, bertanya siapa keluarga pak Diman. Tubuh Adira membeku. Ia paham apa yang akan dikabarkan perawat ICU jika menanyakan keluarga korban. Benar saja. Tak beberapa lama Sita keluar dipapah perempuan itu. Pak Diman meninggal dunia. Adira jatuh terduduk. Ia merasa menjadi orang paling jahat di dunia. Masih terbayang di benaknya wajah gembira Pak Diman jika sedang bercerita tentang kolam lele idamannya.

***

Ponsel Adira berdering. Ia sedang bersama Pak Dedi di Poli TB, membahas status pasien dampingannya. Adira melirik nama di ponsel itu. Lisa.

"Angkat dulu teleponnya, mba Adira," kata Pak Dedi. Ia melihat wajah Adira tampak tak bersemangat.

Lisa ternyata mengabarkan kalau mereka berdua lulus tes CPNS. Pak Dedi pun langsung mengucapkan selamat.

Adira menangis. Sejak Pak Diman wafat ia berubah menjadi melankolis. Ia kerap menyalahkan dirinya sebagai penyebab meninggalnya pak Diman.

Tiba-tiba, terdengar salam dari luar ruangan. Adira dan Pak Dedi tertegun. Di pintu tampak Sita, berdiri membawa amplop coklat. Adira bergegas menghampiri Sita.

"Mba, aku terinspirasi dari kebaikanmu. Aku ingin juga menjadi PS seperti mba Dira."  Ia menyerahkan amplop coklat kepada Adira.

Seketika air mata Adira tumpah. Ia seolah tertampar. Selama dua bulan ini ia merasa telah berlagak seperti Tuhan. Ia menghukum dirinya sendiri dengan penyesalan yang tak bertepi. Tapi perempuan muda ini, yang seharusnya jauh lebih berduka darinya, justru begitu tegar. Ia bahkan mengagumi sosoknya, yang justru selama berbulan-bulan ini ia benci.

Adira memeluk Sita. "Mba Dira bahagia banget mendengar ini, Sita. Lakukanlah, kalau ini jalan terbaik untukmu. Tapi janji ya, jaga dirimu."

Adira lalu mengajak Sita menemui pak Dedi. Ia merapikan dokumennya. Dari kejauhan ia melihat keduanya berbincang.

"Ada lukaku yang belum sembuh. Tapi ku yakin selalu ada cinta yang tumbuh," batin Adira.

"Hari ini aku berhenti sebagai kader kesehatan. Tapi akan ada sejuta manusia menggantikanku. Mereka orang-orang berhati malaikat, yang akan terus bergerak membahagiakan jiwa yang sakit."

Kali ini. Untuk pertama kalinya lagi setelah dua bulan... Adira tersenyum.

-The End-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun