Mohon tunggu...
Umniyati Kowi
Umniyati Kowi Mohon Tunggu... Pegiat komunikasi, literasi, dan kesehatan masyarakat

Alumnus FISIP UI. Bergiat di beragam ranah komunikasi. Senang belajar. Terus Bertumbuh. Tetap berkontribusi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kolam Lele Pak Diman

18 September 2025   17:24 Diperbarui: 18 September 2025   17:24 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia mempercepat langkahnya menuju Poli TB. Bertemu pak Dedi. Raut wajah perawat itu tampak murung. Ia mengabarkan Pak Diman sudah seminggu dirawat di ruang ICU. Komplikasi Diabetes Melitus memperparah penyakitnya.

Tanpa kata Adira langsung berlari secepat mungkin. Di depan ruang ICU ia melihat Sita. Duduk menangis, ditemani perempuan paruh baya. Bukan ibunya. Karena ibu Sita sudah berpulang tiga tahun lalu.

Adira memeluk Sita. Tak berapa lama seorang perawat keluar dari ruang ICU, bertanya siapa keluarga pak Diman. Tubuh Adira membeku. Ia paham apa yang akan dikabarkan perawat ICU jika menanyakan keluarga korban. Benar saja. Tak beberapa lama Sita keluar dipapah perempuan itu. Pak Diman meninggal dunia. Adira jatuh terduduk. Ia merasa menjadi orang paling jahat di dunia. Masih terbayang di benaknya wajah gembira Pak Diman jika sedang bercerita tentang kolam lele idamannya.

***

Ponsel Adira berdering. Ia sedang bersama Pak Dedi di Poli TB, membahas status pasien dampingannya. Adira melirik nama di ponsel itu. Lisa.

"Angkat dulu teleponnya, mba Adira," kata Pak Dedi. Ia melihat wajah Adira tampak tak bersemangat.

Lisa ternyata mengabarkan kalau mereka berdua lulus tes CPNS. Pak Dedi pun langsung mengucapkan selamat.

Adira menangis. Sejak Pak Diman wafat ia berubah menjadi melankolis. Ia kerap menyalahkan dirinya sebagai penyebab meninggalnya pak Diman.

Tiba-tiba, terdengar salam dari luar ruangan. Adira dan Pak Dedi tertegun. Di pintu tampak Sita, berdiri membawa amplop coklat. Adira bergegas menghampiri Sita.

"Mba, aku terinspirasi dari kebaikanmu. Aku ingin juga menjadi PS seperti mba Dira."  Ia menyerahkan amplop coklat kepada Adira.

Seketika air mata Adira tumpah. Ia seolah tertampar. Selama dua bulan ini ia merasa telah berlagak seperti Tuhan. Ia menghukum dirinya sendiri dengan penyesalan yang tak bertepi. Tapi perempuan muda ini, yang seharusnya jauh lebih berduka darinya, justru begitu tegar. Ia bahkan mengagumi sosoknya, yang justru selama berbulan-bulan ini ia benci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun