3. Ukraina dan Perebutan Pengaruh Global
Krisis Ukraina sejak 2014 hingga sekarang memperlihatkan bagaimana Rusia dan Barat bertarung untuk pengaruh di negeri tersebut. Bagi Rusia, Ukraina adalah bagian dari "halaman belakang" mereka. Sementara bagi AS dan Uni Eropa, Ukraina adalah garis depan melawan ekspansi Rusia. Rakyat Ukraina, meskipun telah menunjukkan aspirasi pro-demokrasi menjadi niscaya, siapa peduli akan rakyat negara kecil? Sering kali negara gurem menjadi terjepit di antara dua kekuatan besar ini. AS sebelum era Trump menginginkan hegemoninya melalui NATO ke timur terus mencapai Georgia, menurut konspirasi Sach. Konspirasi di sini artinya tidak terbukti, mengingat dari Obama, Trump periode pertama, hingga Biden hanya membantu Ukraina setengah hati. Dan Trump periode kedua hanya mengukur keuntungan pertambangan bagi Trump saja, tanpa perencanaan pengamanan daerah pertamabangan. Seperti ucapan Trump lainnya yang tanpa diikuti perhitungan dan penjelasan rencana bagaimana cara mengoperasikan pabrik pertambangan di tengah konflik atau peperangan perebutan wilayah jajahan oleh Putin sendiri yang didukung dengan peperangan yang mematikan tentara Rusia, secara percuma atau bagai memasuki wilayah penggilingan daging. MEnurut Jeffrey Sachs, Ukraina harus menghentikan matinya penduduk sipil dalam gempuran bom Rusia, dengan cara satu satunya, menyetujui apa maunya Putin saja. Atau jangan mengganggu Putin atau macan tidur, termasuk apa mimpi Putin. Bukankah ini apa yang dikatakan Trump bahwa Zelanski harus setuju untuk damai dengan Putin, dan juga setuju menyerahkan tambang mineralnya untuk Donald Trump.Â
Jeffrey juga menyarankan supaya EU mewakili Ukraina untuk memulai perundingan damai dan tidak usah melibatkan Ukraina, ini sama saja taktik perundingan damai ala Trump yang bisa seenaknya mengesampingkan peran negara berdaulat Ukraina. Apalagi kita sudah makin hari semakin menyaksikan banyaknya tentara Rusia berkaki satu atau bertangan satu yang dipaksa maju perang terus pantang mundur, karena sudah kehabisan tentara berkaki utuh dan bertangan utuh yang bisa disuruh maju terus tanpa menggunakan strategi kemenangan dengan tumbal nyawa seminim minimnya. Sehingga gejala gejala kekalahan atau kecapekan berperang tentara Rusia makin nyata. Belum ditambah dengan pemusnahan kilang minyak, pabrik persenjataan dan alat alat perang Rusia oleh FPV Drone Ukraina telah membuat Rusia kehabisan resources atau daya tempur dan perekonomiannya. Dikutip dari Jeffrey, bahwa semua negara harus mau berunding dengan Rusia untuk menjaga perdamaian di Eropa, berarti masih mengasumsikan adidaya Rusia masih utuh, mengingkari keadaan Rusia yang sudah menjadi macan ompong. Pendapat profesor Jeffrey ini banyak diberikan kepada presiden presiden di negara negara maju dan seperti menurut penuturannya banyak dipakai mereka. Dan kita telah menyaksikan hasilnya, bahwa dunia ini semakin kacau saja, apakah mereka masih saja mau mendengarkan teori konspirasinya?
Apa jadinya dunia ini kalau semua profesornya seperti Jeffrey Sachs, yang sejak dahulu sudah mengatur atur dunia seenak perutnya sendiri? Juga pendapatnya tentang Benjamin Netanyahu yang bisa mengatur geopolitik di Timur Tengah, masak se Timur Tengah tidak ada yang bisa mengacau atau disrupsi dari rencana Netanyahu?
Karakteristik Pemimpin Negara Besar
Apakah karakter ini hanya dimiliki oleh pemimpin negara besar? Tidak selalu. Ini lebih merupakan pola sistemik, bukan hanya persoalan individu. Pemimpin negara besar, entah itu Putin atau presiden AS, cenderung mengutamakan kepentingan nasional mereka di atas prinsip moral global.
Namun, yang membuat ini lebih ironis adalah bagaimana mereka membungkus kepentingan geopolitik dengan retorika demokrasi. Rusia mengklaim melindungi etnis Rusia di Ukraina, sementara Amerika berbicara tentang "membawa kebebasan" ke Timur Tengah. Padahal, kedua belah pihak sering kali mengabaikan kehendak rakyat setempat.
Masa Depan Demokrasi Global
Paradoks ini memunculkan pertanyaan: apa jadinya dunia jika geopolitik menjadi pilar utama dalam demokrasi global? Jika negara kecil hanya dianggap sebagai pion dalam catur kekuasaan global, maka demokrasi tidak lebih dari sekadar ilusi.
Namun, harapan tetap ada. Sejarah membuktikan bahwa gerakan rakyat mampu mengubah status quo. Revolusi Velvet di Cekoslowakia, gerakan Solidaritas di Polandia, dan demonstrasi pro-demokrasi di banyak belahan dunia menunjukkan bahwa suara rakyat, meski terkadang terabaikan, tetap memiliki kekuatan.
Untuk mematahkan hegemoni negara besar, sistem internasional perlu diperkuat dengan prinsip kesetaraan bangsa. Institusi global, seperti PBB, harus bertindak adil dan tidak tunduk pada tekanan negara adidaya.
Kesimpulan