Paradoks Demokrasi dan Geopolitik: Ketika Kedaulatan Bangsa Kecil Dikesampingkan
Dalam pidato The Geopolitics of Peace oleh Jeffrey Sachs, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin prinsip-prinsip demokrasi --- seperti hak asasi manusia, pemilu yang adil, dan kehendak rakyat --- bisa dikorbankan demi kepentingan geopolitik negara-negara besar? Fenomena ini memunculkan paradoks tajam antara cita-cita demokrasi dan realitas politik global.
Demokrasi yang Dibayangi Geopolitik
Secara teori, demokrasi bertumpu pada kedaulatan rakyat. Setiap bangsa, besar atau kecil, memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Namun, dalam praktiknya, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Rusia sering kali menggunakan kekuatan geopolitik untuk memaksakan kehendaknya, mengabaikan suara rakyat di negara-negara yang mereka anggap "kurang penting."
Jeffrey Sachs, dalam pidatonya, tampaknya merefleksikan bahkan menyarankan untuk mengikuti kenyataan ini: bahwa politik global harus lebih ditentukan oleh keseimbangan kekuatan (balance of power di antara negara adidaya) dibanding prinsip-prinsip demokrasi. Ini bukan fenomena baru. Sepanjang sejarah, kita telah menyaksikan bagaimana negara-negara besar membentuk ulang peta dunia demi kepentingan strategis mereka sendiri.
Landmark Sejarah: Ketundukan pada Kekuatan Besar
Beberapa peristiwa bersejarah menunjukkan bagaimana negara-negara kecil kerap menjadi korban dari permainan geopolitik:
1. Perang Dingin dan Pakta Warsawa vs. NATO
Pasca Perang Dunia II, Eropa Timur praktis menjadi "wilayah pengaruh" Uni Soviet. Negara-negara seperti Hungaria dan Cekoslovakia yang mencoba melepaskan diri dari pengaruh Soviet dihancurkan secara brutal --- Pemberontakan Hongaria tahun 1956 dan Musim Semi Praha tahun 1968 adalah contohnya. Hak rakyat untuk menentukan nasib mereka sendiri terkubur demi kepentingan geopolitik Soviet.Â
2. Invasi Amerika di Timur Tengah
Amerika Serikat, demi memperkuat hegemoninya, melakukan intervensi di Irak pada 2003 dengan dalih senjata pemusnah massal --- yang kemudian terbukti tidak ada. Walaupun sebagian minoritas rakyat Irak setuju akan pergantian Saddam Hussein secara paksa, karena berulang kali Irak melanggar hak asasi atau genosida terhadap penduduk Kurdi dengan senjata kimiawinya oleh pelaku utamanya, Chemical Ali. Akibatnya, Irak hancur, kedaulatan bangsanya dilanggar, dan kekacauan politik berkepanjangan terjadi. Rakyat Irak tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam keputusan besar yang mempengaruhi masa depan mereka.Â