Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kacamata Baca

12 Juni 2020   21:35 Diperbarui: 13 Juni 2020   18:44 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lelaki berkacamata hitam. (sumber: pexels.com/@picography)

Keinginan Sirun menjadi guru tinggal selangkah. Ia telah tiba di saat-saat akhir. Empat tahun masa menuntut ilmu di universitas negeri kebanggaan bangsa hampir saja diselesaikannya. 

Kalau saja mata kuliah Matematika tidak menyandung langkah, ia telah menyandang gelar. Namanya yang singkat akan dihiasi tiga huruf sakti: SPd., Sarjana Pendidikan.

Matematika menjadi momok bagi Sirun. Faktor genetis selalu menjadi penghibur hati dalam keterbatasan pemahamannya pada ilmu berhitung ini. Dari lima bersaudara, tak seorang pun yang menekuni bidang hitung-menghitung. 

Kakak tertuanya menjadi tentara. Kakak tengahnya hanya ikut suami. Dan yang lainnya jauh dari kegiatan berhitung, selain menghitung penghasilannya masing-masing. Itu pun tak pernah genap. Hitungan mereka selalu saja kurang dibanding dengan jumlah kebutuhan hariannya.

Orang tua Sirun tergolong kaum intelek pada zamannya. Bapaknya seorang pegawai pada kantor gubernur. Ia lulusan sekolah zaman kolonial yang bernama HIS, Holland Inlander School atau sekolah rakyat pada zaman kemerdekaan.

Ibunya kembang desa anak seorang kiyai. Menurut cerita bapak, mereka adalah pasangan serasi yang membuat banyak orang patah hati. Mirip-mirip pasangan dokter Reisa dan suaminya, Broto Asmoro, kurang lebih.

Disamping faktor genetis itu, Sirun memiliki pengalaman tak elok pada Matematika. Semasa SMA dulu ia seakan jadi patung monyet putih Hanoman di samping papan tulis. Ia berdiri di sana sepanjang pelajaran berlangsung.

Pasalnya, Sirun tak pernah bisa menyelesaikan soal integral parsial dari ibu Rosmaniar, guru bermata jeli yang dengan mudah mengenali mimik ketakutan muridnya.

Bukan kerumitan dalam mengintegralkan hasil kali dua fungsi itu yang membuat hati Sirun menciut. Kegagalannya menjawab tantangan yang diberikan guru bermarga Harahap itu, membuat harkatnya di mata Susanti meluncur kencang seperti penerjun. Susanti adalah siswi pandai berkulit seputih kapas yang ia senangi, melebihi kesenangannya pada Yadi teman sebangkunya.

Dengan latar demikian, tak usah heran bila hasil ujian akhir Sirun pada mata kuliah Matematika jeblok. Sirun mesti mengulang pada semester berikutnya, hal mana yang membuat ijazahnya tertahan selama enam bulan.

***

Ruang kelas sekolah kejuruan itu dimasuki Sirun. Serta merta ia berjalan mencari meja yang memuat nomor ujian miliknya.

Pencarian itu mencapai akhir pada meja di baris terakhir, lajur kedua di samping pintu. Sirun duduk di atas kursi dan tangannya mendekap meja kayu yang penuh coretan.

Tak lama menunggu, seorang wanita memasuki ruangan. Berpakaian rapi dengan kerudung yang serasi. Tangan wanita ini mendekap amplop besar berwarna coklat. Kelak berkas dalam amplop ini yang membuat Sirun hampir putus asa. Wanita muda ini adalah pengawas yang akan menemani Sirun dan empat puluh rekannya.

Berkas soal pun ia bagikan. Berkeliling mendatangi setiap meja. Tatapan peserta ujian tak membuat ia gugup. Terhadap tatapan kagum seperti yang Sirun lepaskan, ia hanya tersenyum kecil. Senyuman yang telah cukup membuat Sirun melupakan sejenak keruwetan Matematika.

Bel berbunyi dua kali, tanda bila ujian mata kuliah Matematika siap untuk dimulai. Akan halnya sekolah yang jadi tempat ujian itu, telah berkali-kali Sirun mendatanginya. Setiap ujian berlangsung, kampus Sirun menyewanya beserta tenaga pengawas yang tak lain adalah para guru.

Lembar demi lembar kertas soal diperiksa, dipastikan kelengkapannya. Setiap meja dipenuhi berkas soal.

Dalam diam, mungkin meja-meja itu ibercerita, atau turut berdoa bagi yang tengah melaksanakan ujian. Mungkin juga ada satu dua meja yang terpingkal menertewakan kebingungan peserta ujian yang mendekapnya.

Namun ada satu meja yang berbeda dari setiap meja. Itulah meja Sirun. Di sana, Sirun terlihat gelisah. Tangannya berulang kali memeriksa tas, saku kemeja dan saku jaketnya. Sepertinya ia mencari sesuatu. Pengawas ruangan serta merta mendatangi meja Sirun.

"Ada yang bisa dibantu?" sapanya.

"Anu, kacamata baca saya tertinggal rupanya" jawab Sirun.

Seketika ruangan dirasakan Sirun begitu sempit. Tanpa benda itu ia tak bisa berbuat banyak. Sebagai penderita hipermetropi, atau rabun dekat, pandangan Sirun terbatas saat memandang benda dari jarak dekat. 

Tanpa kacamata berlensa konveks -kaca mata plus- miliknya, ia memandang barisan huruf dalam soal itu tak beda seperti garis lurus berbayang. Sedangkan tabel dan grafik tampak sebagai gambar tanpa arti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun