Naftali
Hari pernikahan tiba. Aku merasa santai. Ini seperti pertemuan keluarga. Tak ada yang mesti kukhawatirkan.
Sopir keluarga, Pak Didi, menjemput Thiru ke bandara dua hari sebelum harinya. Nana bilang calon pengantin baru tak boleh melakukan hal-hal yang membahayakan meski kematian adalah misteri. Tiap orang bisa mati kapan saja di tempat dan waktu yang tidak diharapkan.
Aku membuka satu kamar di Hotel Rosewood. Thiru akan tinggal di sana. Ia menolak menginap di rumah Dada meski kukatakan dia akan menempati kamarnya sendiri.Â
Pertama aku melihatnya di lobi hotel, ia lebih banyak mengatupkan bibir. Aku tahu dia tak suka sopir menjemputnya. Tetapi ia melebarkan senyum menyalami Robbie, yang menemaniku menunggu di hotel. Kamu seperti lebih tua dua tahun, godaku. Is it, jawab Thiru datar sambil menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Â
"Kamu tak keberatan kita ke salon dan kamu facial supaya sedikit segar?" tawarku ketika kami sudah tinggal berdua.
"Apa maksudmu dengan facial?" Tidak. Aku akan tidur cepat setelah acara makan malam dengan keluargamu," jawab Thiru.
"Baiklah. Kalau begitu kita ke rumah untuk berkenalan dengan beberapa keluarga. Besok acara kita, kamu mengepas jas,'" kataku.
"Terserah apa katamu," jawab Thiru tanpa memandangku.
"Thiru, kenapa muram seperti itu? Bagaimana pekerjaanmu? Dan Yeoh?" tanyaku.
"Kami sudah kehilangan pekerjaan, Naf. Mereka akan membayarkan pesangon kami minggu depan. Yeoh cukup senang karena pihak asuransi masih mau mengkaver biaya melahirkan Elizabeth sampai tiga bulan ke depan."