Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [8]

7 Oktober 2022   10:47 Diperbarui: 7 Oktober 2022   11:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Delapan belas dolar," ucapnya kepadaku, datar. 

Aku mengeluarkan selembar dua puluh dolar. Lalu kasir memberiku satu tiket Batam-Singapura seharga Sin$17 dan tiket lain Sin$1. Tertera keberangkatan pukul 14.15. 

"Ini apa?" tanyaku sambil menunjukkan tiket lain yang berharga satu dollar. 

"Untuk tiket balik kemari," jawabnya tak sabar. 

"Ini saya kembalikan. Tak perlu," jawabku. 

Kasir berwajah lurus mengambil tiket dari tanganku, mengembalikan satu koin dolar dengan wajah seolah mengisyaratkan, silakan pergi, pembeli lain mengantre di belakang. 

Aku mengucapkan terima kasih. Kasir tak menjawab. Ketika membayar fiskal, petugas basa-basi saja memeriksa dokumenku dengan cara membuka-buka lembaran, menyuruhku berjalan ke arah tangannya menunjuk. Aku berterima kasih, petugas berwajah suram itu tak menjawab. Kenapa orang-orang ini? Apakah perlu membayar dua kali lipat untuk menemukan keramahan? Apakah seperti memilih: layanan dengan atau tanpa senyum? Uang bukan segalanya, tetapi di sini uang menentukan sikap seseorang kepadamu.  

Aku berada di jalur feri bercat biru terang seperti langit dan bergaris putih panjang. Aku mencocokkan nama feri dan tiketku, sesuai nasihat sopir taksi tadi. Beberapa penumpang berdiri tanpa senyum, tanpa gairah bepergian. Dua pendeta Buddha dengan kepala gundul mengilat, mengenakan kain oranye kecokelatan tak dijahit, memandang lurus ke laut. Juga tanpa senyum. Wajah-wajah mereka menjelma perempuan kasir dan petugas imigrasi. Rutinitas yang membunuh kreativitas. 

Kemudian entah atas perintah siapa, orang berduyun-duyun masuk ke perut feri, seperti tak terkendalikan. Aku tak sempat berpikir, ikut dalam arus, menunjukkan tiket kepada petugas yang tanpa melihat lagi mengusir penumpang dengan tangan, cepat masuk kapal. Namun setelah peristiwa itu, kulihat masih banyak kursi kosong. Kenapa mesti berdesakan seperti tadi, batinku kesal?

Sepuluh menit kemudian feri bergerak. Penumpang terpencar dan mencari nasibnya masing-masing. Mereka bebas menyelonjorkan tubuh hingga tiga kursi. Di barisanku seorang laki-laki Cina di ujung sana, langsung menutup mata sejak duduk. Di bagian belakang terdengar pembicaraan berbahasa Cina dengan kecepatan tinggi, lurus melengking, ramai seperti kicau burung kutilang. Aku terheran-heran bagaimana mereka bisa saling mengerti. Feri menjauhi dermaga, membuang buih-buih putih ke atas gelombang. Aku seperti bermain ayunan. Kala ombak keras, feri berayun lebih tinggi dan jatuh lebih dalam. Laut berwarna hijau kehitaman, membentuk gelombang yang bergerak lamban dan anggun. Gerakan kekal yang tak selesai hingga kapan pun. Aku tak bosan menyaksikan gerak gelombang pecah jadi ombak kecil sampai wajahku nyaris menempel kaca. 

Sampai satu detik aku merasa seseorang sedang mengawasiku. Aku memutar leherku ke samping kiri. Betul saja. Sepasang mata perempuan muda berperawakan kecil tengah memandangku, duduk khusyuk seakan-akan ia sudah bertahun-tahun di sana. Gadis itu meringkuk dengan pundak menempel ke leher, tas plastiknya menutupi perut hingga ke dagu. Posisi duduk itu memberi kesan ia berada di ruang yang amat sempit. Padahal sepanjang barisannya tak ada penumpang. Kedua lengannya bertengger di tas plastik, seolah menekan agar plastik tak menggelembung. Wajahnya tipis-mungil. Matanya cenderung kecil alih-alih sipit dan di bawah matanya ada semacam kantong air yang bengkak seperti habis menangis dua jam. Rambut lurusnya berwarna jagung, acak-acakan, dan dibiarkan melekat sembarangan di dahinya. Ia mengenakan pakaian tumpuk berbahan kaus warna-warni dan modelnya tak jelas. Matanya menatapku penuh harap seolah berkata, bisa tolong saya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun