Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Bulan Juni di Pontianak

24 Juni 2020   08:50 Diperbarui: 24 Juni 2020   08:52 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerimis hujan masih setia turun, merendahkan suhu panas kota Pontianak. Kota Khatulistiwa yang sangar dengan suhu panasnya.

Bulan Juni, untuk Pontianak memang dikenal dengan hujan tiap hari. Tiada hari tanpa hujan. Kadang deras, juga gerimis sepanjang malam atau sepanjang hari.

Aku masih duduk dengan setia di ujung Masjid Jami Al Kadri.  Masjid tertua di Pontianak. Bahkan, lebih tua dari usia Istana Al Kadri yang legendaris itu.

Dari Istana Al Kadri itu, sejarah mencatat, bahwa sultan Hamid II, yang lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie adalah sosok yang merancang lambang Negara Indonesia. Garuda Panca Sila.

Di belakang tempat aku kini duduk. Terbentang kampung Beting. Kampung yang merupakan paradok dari kebesaran Istana Al Kadrie dan Masjid Jami'. Karena kampung itu, kini dikenal sebagai sarang peredaran Narkoba.

Jadi, duduknya aku di ujung kampung Beting bukan tanpa resiko. Bisa saja, akan ada seorang atau beberapa orang Polisi yang akan memperhatikan segala grak-gerikku. Lalu, dengan sekali sergap, aku telah di borgol oleh mereka. Karena dicurigai sebagai salah seorang  pengedar Narkoba.

Namun, apa peduli ku. Lelaki tua ini, telah mematikan urat takutnya. Telah memutus habis seluruh rasa malunya. Memutuskan habis  semua urat kekuatirannya.

Yang ku harap kini. Hanya sebuah informasi. Dimanakah gerangan keberadaan sang pujaan hati itu. Sang pujaan yang terbawa hanyut dalam keindahan mahligai rumah tangganya, karena disunting oleh salah satu Pangeran dari Istana Al kadrie.

Dimanakah kau Meuthia? Jika kau masih hidup, aku hanya ingin melihat wajah dan senyum mu, sebelum ajal menjemputku. Jika, kau telah meninggal, aku ingin menziarahi pusaramu. Sebagai bentuk penghormatan terakhir ku, sebelum aku pun masuk di bawah permukaan tanah kelak.

Di ujung kampung Beting hujan gerimis masih turun tiada henti. Aku yang berlindung di bawah payung masih juga duduk di bangku yang sama.

Ritual ini, telah bertahun ku lakukan. Meninggalkan Jakarta di bulan Juni. Bulan dimana Jakarta disibukkan dengan penyambutan ultah DKI. Akan ada keramaian di PRJ,  Jakarta akan riuh dengan segala lampion warna warni dan udara cerahnya.  Semua, kutinggalkan untuk menjemput sesuatu yang  masih gelap. Tentang, keberadaan Meuthia.

*****  

Ada rombongan Pengantin kerajaan, kedua mempelai turun menapaki tangga Masjid Jami', di kiri kanan pengawal berjalan dengan gagahnya. Para pengeran dan keluarga kerjaan mengiringi di belakang. Sementara di depan prosesi itu dikawal dengan semacam tarian yang berfungsi  bagai pasukan patwal.

Aku yang berdiri diantara ribuan rakyat jelata di pinggir jalan. Persis pada posisi dimana kini aku duduk, memperlihatikan semuanya dengan cermat.  Masih jelas diingatan ini. Meuthia dengan sudut matanya melihat pada ku. Ada keterkejutan di mata itu, ada aura muka yang berubah sedih, melihat kehadiran ku.

Kesedihan pada aura wajah Meuthia itulah yang jadi bekal ku, meninggalkan Pontianak. Menaklukan  Jakarta. Kini, Jakarta telah ku taklukan. Namun, dimana sang sebab penaklukan Jakarta itu? Dimana Meuthia?

Rinai gerimis hujan bulan Juni masih terus berlangsung. Aku masih duduk di bangku yang sama. Hari ini,  hari keempat aku duduk di bangku yang sama.

Terlihat dengan jelas oleh mata tua ini. Lelaki muda, gagah, tampan, melangkah menuju padaku dengan langkah pasti. Inikah lelaki yang ku kuatirkan itu, anggota Polisi yang akan datang dengan borgol, tersebab ada lelaki tua yang duduk dibawah rinai hujan bulan Juni, selama empat hari di bangku yang sama. Lelaki tua, yang dalam persangkaan lelaki muda yang datang, sebagai pengedar Narkoba.

Langkah gagah itu, semakin dekat. Semakin aku yakin, melangkah ke arah ku.

Dengan senyumnya, dia semakin mendekat... mendekat dan mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.

"Assaalamu'alaikum" sapa lelaki muda itu.

"Waalaikum salaam" jawabku ringkas.

"Mengapa duduk di bangku dibawah hujan pak?" tanya lelaki muda itu.

"Tak apa-apa..." jawabku ringkas.

"Bapak sedang menunggu seseorang?"

"Betul.."

"Siapa pak? Mungkin saya bisa bantu" tanya lelaki muda itu lagi. Aku mulai menduga, dia sudah mulai mengarahkan agar aku terjebak.

"Saya sendiri tidak tahu persis.." jawabku.

"Kok bisa?" kejar lelaki muda itu.

"Dia sudah lama tak saya jumpai"

"Berapa lama Pak?"

"Tiga puluh lima tahun" Jawabku.

"Bapak tiap bulan Juni ke sini pak"

"Betul.... tiap bulan Juni, setiap tahun"

Lalu, keheningan yang menyengat  menyergap kami, aku dan lelaki muda yang duduk di sebelahku.

"Bapak kenal dengan yang di dalam foto ini?" lanjut lelaki muda itu, aku hampir pingsan melihat foto yang diperlihatkannya. Di sana jelas terlihat Meuthia.

"Sangat kenal. Dia Meuthia. Anda siapa?"

"Saya Reza, anak bungsu dari Bunda Meuthia" jawabnya ringkas.

Refleks, tangan tua ini, memeluk Reza. Refleks pula Reza memeluk tubuh tua ini. Tanpa skenario, kami merasa dekat. Lalu, dengan tangan kokohnya, aku di bimbing Reza, menuju bangunan dari mana Reza datang tadi.

Gerimis hujan bulan Juni masih terus turun, masih terus membasahi kota Pontianak, bumi Khatulistiwa.

Aku dan Reza menuju bangunan dimana Reza datang tadi. Sengaja mulut tua ini, bertahan untuk tidak terburu-buru bertanya tentang Meuthia.

Karena, jawaban Reza, kelak akan mengubah seluruh arah perjalanan hidupku.

.

Pontianak, 24 Juni 2020.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun