Kedudukan perempuan sebagai istri, yakni pasangan bagi laki-laki yang dikenal dengan sebutan suami. Dari kedudukan tersebut, seorang perempuan memiliki beragam peran yang harus dijalankan sebagai konsekuensi dan tanggung jawab atas status tersebut.
Istri dalam bahasa Sunda disebut 'pamajikan'. Berasal dari kata 'majik' artinya cicing mendapat awalan pa- dan akhiran --an, kata 'pamajikan' mengandung arti tempat, yakni tempat cicing. Maknanya adalah istri sebagai tempat berteduh, berlindung, dan menenangkan diri bagi suami, setelah seharian ia penat dan lelah berjuang mencari nafkah.
Tetap tampil cantik saat di rumah dan pandai merawat diri
Citra perempuan sebagai istri banyak ditemukan dalam peribahasa Sunda, diantaranya : bojo denok sawah ledok, artinya kehidupan suami akan terasa menyenangkan dan diliputi kebahagiaan, karena memiliki istri yang cantik dan harta kekayaan yang cukup.
Kata 'denok' tidak hanya mengandung makna cantik, tapi juga dilengkapi dengan kondisi fisik yang montok atau dalam istilah sekarang disebut 'bohai atau semok (seksi dan montok)'. Untuk ukuran berat badan, perempuan yang dnok berkisar antara 60 -- 70 kilogram.
Selain merujuk pada kondisi fisik, kata 'denok' juga biasa digunakan sebagai panggilan atau sebutan bagi anak perempuan yang beranjak remaja, di daerah Sunda. Ada juga beberapa orang tua yang menjadikan kata 'denok' sebagai nama, atau nama panggilan kesayangan bagi putrinya. Dalam serial Tukang Ojek Pengkolan, kita menemukan seorang tokoh bernama Denok, yakni istri keduanya Ojak.
Mampu menjadi istri utama
Ada kata lainnya lagi, selain 'bojo' yang digunakan untuk menyebut istri dalam bahasa Sunda. Diantaranya : kata 'garwa' artinya masih istri dalam bahasa Indonesia. Kata 'garwa' memiliki rasa bahasa yang lebih halus, kata ini biasa digunakan untuk menyebut istri dari kalangan bangsawan. Di dalam bahasa Jawa, kita mengenal ungkapan 'garwa padmi' artinya istri utama, atau istri pertama.
Penyebutan ini didasarkan pada histori, bahwa para bangsawan, ningrat, priyayi, dan raja-raja di Jawa biasa memiliki banyak istri. Satu orang istri utama yang disebut 'garwa padmi' dan beberapa orang selir. Seorang laki-laki dari kalangan priyayi, bahkan dapat dianggap masih perjaka, jika ia belum memiliki 'garwa padmi'. Padahal, bisa saja ia sudah berhubungan dengan beberapa wanita atau selir.
Secara sosial, status garwa padmi lebih tinggi daripada selir. Karena, garwa padmi dinikahi secara sah, dengan upacara adat pernikahan yang lengkap, disetujui orang tua kedua belah pihak, dan tercatat resmi dalam dokumen negara.
Sehingga dengan hak-hak istimewa tersebut, status sosial dari anak yang dilahirkan garwa padmi pun lebih tinggi dan memiliki otoritas yang kuat dalam pertalian darah antara dia dengan ayahnya. Namun, dalam hal hak waris. Baik warisan yang berhubungan dengan kekayaan dan harta benda, maupun kekuasaan. Juga dalam hak memperoleh pendidikan, antara anak dari garwa padmi dan selir sama-sama memperoleh hak yang sama.
Garwa padmi sebagai istri yang memiliki kedudukan tinggi dan diutamakan, juga bisa lebih dari satu orang, bisa dua, tiga, bahkan empat orang garwa padmi. Menurut sejarah, pada jaman dahulu raja di Jawa Tengah Selatan, memiliki empat orang garwa padmi dan beberapa puluh selir.
 Sesungguhnya, hal ini sudah biasa terjadi, dan bukan hal yang luar biasa. Karena, pada jaman dahulu, memiliki banyak perempuan di istana. Baik sebagai garwa padmi, istri utama atau permaisuri. Maupun selir atau garwa ampeyan merupakan suatu prestise dan kebanggaan.
Mampu melayani kebutuhan suami dengan paripurna
Kata lainnya yang biasa digunakan untuk menyebut istri dalam bahasa Sunda, adalah kata 'geureuha'. Artinya masih sama yaitu istri, perbedaannya kata 'geureuha' memiliki rasa bahasa yang halus, digunakan saat berbicara dengan kalangan ningrat di masyarakat Sunda. Umpamanya, "Waktos anjeunna mangkat ka Mekkah, geureuhana ge ngiring nyarengan." (Saat dia pergi ke Mekkah, istrinya pun ikut menemani.)
Dalam hasil penelitian Dr. Susi Yuliawati, M.Hum., yang mengkaji penggunaan nomina yang melambangkan perempuan pada Majalah Mangle. Diperoleh hasil bahwa kata-kata yang menunjuk makna perempuan tersebut mengalami pergeseran makna.
Citra perempuan sebagai 'geureuha' pada tahun 1958-1965 ditampilkan sebagai istri yang tugas utamanya adalah memenuhi kebutuhan biologis laki-laki yang menjadi pasangannya. Masih menurut penelitian ini, kata 'pamajikan' sebagai sinonim dari istri masih secara konsisten menampilkan sosok perempuan Sunda sebagai istri dengan peran tradisionalnya dalam keluarga. (*)