Sekadar nostalgia, untuk menyemangati diri sendiri. Maklum, sudah agak lama tak aktif posting di Kompasiana. Ternyata, saya pernah meraih HL Terbanyak di Kompasiana, dua bulan berturut-turut. Benarkah?
Kerap Ketemu, Sering NgobrolÂ
Ya, benar. Memang demikianlah nyatanya. Itu terjadi bulan Juli 2015 dan Agustus 2015. Pada Juli 2015, saya memposting 13 tulisan di Kompasiana. Dan, 11 di antaranya, dapat label Headline (HL). Pada Agustus 2015, saya memposting 24 tulisan di Kompasiana. Dan, 14 di antaranya, dapat label HL.
Dalam konteks nostalgia, itu menjadi penyemangat bagi saya. Sukur-sukur bisa memotivasi diri sendiri, untuk kembali aktif memosting tulisan di Kompasiana. Terus-terang, pada masa itu, pekerjaan saya sebagai jurnalis, cukup padat. Pekerjaan saya sebagai researcher, juga padat.
Namun, semangat menulis dan memosting di Kompasiana, tak terbendung. Padahal, pada masa itu, tidak ada K-Reward. Tidak ada juga iming-iming hadiah. Lalu, apa? Suasana kreatif, salah satu pemicunya. Pada masa itu, saya dan beberapa Kompasianer, kerap meluangkan waktu untuk ketemu dan ngobrol. Sekadar ngopi.
Kami kerap memilih titik temu di Kantin Kompas Palmerah Barat, yang berjarak beberapa langkah dari kantor pusat Kompasiana. Kadang di kantin Bentara Budaya, Palmerah Selatan, yang persis berhadapan dengan kantor pusat Harian Kompas. Secara transportasi publik, ke kedua titik temu itu, relatif mudah.
Kami leluasa menjangkaunya, hanya cukup jalan kaki dari Stasiun Kereta Palmerah. Dan, TransJakarta pun mangkal dekat stasiun tersebut. Jika ada Kompasianer dari luar kota, yang kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta, ya kami janjian di titik temu itu. Yang kami obrolin ya yang ringan-ringan saja. Maklum, kami punya aktivitas masing-masing, yang tiap hari sudah menyita pikiran.
Kreatif dalam KebersamaanÂ
Dengan kata lain, pertemuan demi pertemuan tersebut, merupakan arena pelepas lelah, bagi kami. Rupanya, suasana yang demikian, cukup kondusif, untuk memicu kreativitas. Terkadang, ada yang melontarkan ide, lalu yang lain dengan serta-merta memberi masukan. Semua berlangsung alamiah. Karena kami beraktivitas di bidang yang berbeda-beda, tak ada yang mendominasi.
Suasana yang demikian, sungguh memicu kreativitas. Ide untuk menulis, tumbuh subur. Masing-masing kami leluasa mengembangkan ide, lalu mewujudkannya ke dalam tulisan, sesuai dengan perspektif tiap orang. Â Saya kemudian ingat petikan di buku Ayu Utami, Underground. Buku itu diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), pada Oktober 2017. Petikan ringkasnya, begini:
Kita tidak bisa kreatif sendirian.
Kreativitas bukan hanya kemampuan individual,
melainkan modal bersama,
yang perlu dirawat dalam masyarakat.
Artinya, kreativitas dan kebersamaan, seiring-sejalan. Dengan kerap ngobrol bersama, masing-masing saling menulari yang lain, untuk menjadi kreatif. Kesimpulan sementara saya: luangkanlah waktu untuk ngobrol dengan sesama. Meski kini interaksi leluasa dilakukan dengan chatting, tapi sepertinya interaksi tatap muka, belumlah tergantikan sepenuhnya oleh gadget.
Barangkali, karena itulah Ayu Utami dalam Underground mendorong kita untuk berkumpul, berkomunitas, dan berinteraksi dengan sesama. Di bagian lain buku itu, Ayu Utami menuliskan:
Jika kamu membuka perpustakaan di rumah
dan membuat diskusi rutin,
sekalipun hanya sebulan sekali untuk anggota terbatas,
kamu sudah mulai mengelola komunitas kreatif.  Â
Komunitas sebagai KarirÂ
Bergabung dalam komunitas, tentu saja penting. Salah satunya, itu menjadi wadah untuk proses pengembangan diri. Turut aktif mengelola komunitas, itu lebih penting lagi. Dengan demikian, proses pengembangan diri, akan menjadi lebih luas cakupannya. Antara lain, mengembangkan diri dalam konteks manajemen dan kepemimpinan.
Bahkan, bidang komunitas, bisa menjadi salah satu pilihan karir. Muhammad Fikri, yang kini menjadi Kepala Manajemen Komunitas Bukalapak, barangkali bisa menjadi salah satu contoh. Posisi tersebut, diraih Muhammad Fikri melalui proses yang panjang berkomunitas, sejak tahun 2005, saat ia kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Ia mulai bergabung dengan komunitas Peace Generation Yogyakarta, pada tahun 2005. Selain itu, ia pun aktif di organisasi kepramukaan UGM. Setelah selesai kuliah tahun 2009, ia bekerja di bidang pendidikan, kepemudaan, dan budaya di Jogja, selama kurang lebih 1,5 tahun.
Selanjutnya, di pertengahan tahun 2011, ia hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan United Nations Volunteer (UNV). Lalu, tahun 2012 hingga 2014, ia bekerja di Putera Sampoerna Fondation sebagai Digital Community Officer. Dari cuplikan perjalanan karir Muhammad Fikri tersebut, kita bisa mencermati, bahwa hasrat berkomunitas yang ia rintis sejak kuliah, telah menjadi fondasi penting bagi perjalanan karirnya.
Di tempat lain dan di bidang lain, tentu masih banyak Muhammad Fikri yang lain. Maka, jangan sia-siakan waktu selagi masih memungkinkan. Bergabunglah dengan komunitas. Jadilah pengelola serta penggerak komunitas. Sebagaimana ditulis Ayu Utami kita tidak bisa kreatif sendirian di muka bumi ini.
Nah, dalam konteks memotivasi diri, saya rindu dengan hasrat berkomunitas Kompasianer, yang dulu sungguh mengagumkan.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 08 Juli 2019 Â Â
--
Kurasi tentang Headline tersebut, dilakukan oleh Kompasianer Yos Mo, yang diposting di Kompasiana pada 5 Agustus 2015
dan pada 8 September 2015