Mohon tunggu...
Isnani Qistiyah
Isnani Qistiyah Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

mimpi jadi scriptwriter :)

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Seni Pertunjukan, Kesetaraan Gender, dan Aku yang Awam

13 November 2022   02:51 Diperbarui: 19 November 2022   07:42 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, pukul 21.26 WIB, masuk notifikasi WhatsApp dari suami. Pesan itu berupa dokumen pdf dengan judul yang tertera “LEMBAR INFORMASI_PERSAMI PARADANCE”. Dance? Karena penasaran, langsung saja kubaca. Enam halaman di dokumen tersebut berisi tentang penjelasan apa itu persami paradance, profil fasilitator yang akan mendampingi, sampai runtutan kegiatan selama dua hari ke depan, yaitu hari Sabtu dan hari Minggu.

Karena ragu, aku menghampiri suami di teras rumah. Oh, ternyata ada kawan yang berkunjung. Kawan itulah yang mendesak suami supaya aku mau mengikuti kegiatan Persami Paradance. Acara tersebut berlangsung besok paginya di Wisma Kampoeng Media, Sleman, Yogyakarta.

Persami Paradance sendiri merupakan program dari Paradance Platform yang diisi dengan berbagai kegiatan, seperti workshop, pelatihan, juga bootcamp. Nah, acara ini sebenarnya ditujukan untuk para seniman pertunjukan yang utamanya adalah anak-anak tari atau koreografer muda. Itulah yang kemudian memantik keraguanku.

Pertama, aku bukan seniman dan belum pernah terlibat langsung di sebuah pertunjukan. Posisiku masih selalu berada di kursi penonton, sebagai penikmat saja. Kedua, persami paradance kali ini mengangkat tema workshop “Kesetaraan Gender untuk Seniman Pertunjukan”. Aku masih sangat awam dengan isu kesetaraan gender. Jujur saja, isu tersebut sudah sering aku dengar, tapi memang aku belum ada ketertarikan untuk memahami lebih lanjut. Pukul 23.00an kuputuskan mengonfirmasi ke nomor yang tercantum, Mbak Nia Agustina, untuk mengikuti persami tersebut. Dengan catatan, aku bukan seorang seniman. Haha. Dan ternyata tidak masalah, karena poinnya adalah kesetaraan gender.

Sepanjang malam itu, entah mengapa ada perasaan gelisah. Kuakui, untuk bisa menikmati suatu acara, terlebih itu di keramaian, terlebih lagi itu acara menginap, aku butuh effort mengumpulkan energi. Ya, begitulah. Energiku mudah terkuras di acara-acara tertentu.

HARI PERTAMA

Paginya sampai juga di tempat acara. Bertemu lagi dengan Mas Dibyo, kawan suami yang semalam datang. Aku suka vibes di tempat acaranya. Suara kicau burung, aliran sungai, gesekan antara ranting pepohonan yang terkena angin. Hmm, cukup membantuku meminimalisir rasa gelisah. Apalagi setelah para peserta dan fasilitator mulai berdatangan, workshop siap dimulai, dan aku cukup bisa menguasai diri untuk tetap bersikap tenang.

Perkenalan

Seperti acara pada umumnya, workshop ini dimulai dengan perkenalan antar peserta dan fasilitator. Yang membuat berbeda adalah, peserta tidak memperkenalkan dirinya sendiri, melainkan memperkenalkan peserta lain yang duduk di sisi kirinya. Jadi, mau tidak mau antara peserta harus saling menggali info lebih dalam. Dan menurutku, permulaan acara jadi terasa seru dengan perkenalan semacam ini. Karena semua yang terlibat di kegiatan workshop ini jadi lebih banyak saling berinteraksi.

Sebelum memasuki sesi lebih lanjut, fasilitator kami, Fitri Indra Harjanti dan Indiah Wahyu Andari memberikan pretest untuk para peserta. Tujuan pretest ini untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman kami tentang kesetaraan gender. Cukup bikin aku agak mikir, sih.

Seks dan Gender

Lanjut ke materi. Mbak Fitria dan Mbak Indiah memberi pemaparan tentang perbedaan seks dengan gender. Seks merupakan jenis kelamin biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan atau bisa dikatakan sebagai kodrat Tuhan. Sedangkan gender merupakan jenis kelamin sosial yang terbentuk dari masyarakat atau budaya dari generasi ke generasi.

dokpribadi
dokpribadi

Sebenarnya banyak kesamaan antara perempuan dan laki-laki, hanya biologis atau fisik saja yang membedakan. Untuk memahami persoalan gender ini, Mbak Indiah menceritakan sebuah kasus dimana seorang sekretaris ditinggal pasangannya berdinas keluar kota. Sebelum pergi ke kantor, dia harus mempersiapkan segala kebutuhannya sendiri juga kebutuhan sang anak. Karena sekretaris ini tidak dapat mengemudikan kendaraan, dia memanfaatkan transportasi umum untuk sampai di kantor. Tidak jarang, dia terlambat masuk kantor. Konsekuensi dari itu, sekretaris ini harus rela mendengar bosnya marah-marah, “Pak Bambang! Anda terlambat lagi!!”. Aku agak loading sebenernya. Tapi, begitu sadar kalau sekretaris ini ternyata seorang laki-laki, aku menyadari satu hal. Yaps, konstruksi sosial masih sangat melekat di bayanganku. Aku dan temen-temen terkecoh. Bayang-bayang seorang sekretaris, mengurus anak, sampai tidak bisa mengendarai kendaraan, biasanya sangat lekat dengan perempuan. Namun, pada kasus ini, sangat bisa terjadi pada laki-laki, dan itu tidak apa-apa, sah-sah saja.

Satu kasus lagi yang diceritakan oleh Mbak Indiah. Cerita ini sangat mengganggu perasaanku. Tidak tahu mengapa demikian. Haha. Jadi, waktu itu Mbak Indiah naik travel dari Semarang mau balik ke Jogja. Bertemu dengan seorang perempuan yang mau balik ke Magelang –kalau tidak salah ingat-. Singkat cerita, Mbak Indiah mengetahui kalau perempuan ini di Semarang bekerja sebagai ART. Mbak Indiah bertanya-tanya, karena perempuan ini masih muda dan masih seumuran anak-anak sekolah. Dibalik kenyataan itu ternyata perempuan ini dari keluarga kurang mampu. Dia punya kakak laki-laki. Waktu itu lulus bareng, dia lulus SD, kakaknya lulus SMP. Oleh orangtuanya, perempuan ini diminta mengalah, biar salah satu saja yang melanjutkan pendidikan. Dengan alasan nantinya laki-laki bakal menjadi kepala rumah tangga di keluarganya, dan perempuan ini dianggap hanya akan mengikuti suaminya kelak, maka kakak laki-lakinyalah yang kemudian melanjutkan pendidikan. Harapannya, biar bisa menunjang karir kakaknya kelak. Semenjak itu, perempuan ini mulai bantu-bantu saudaranya berjualan sampai dia menjadi ART.

Lebih lanjut lagi, kakak laki-lakinya akhirnya menikah dan masih tinggal bersama orangtuanya. Kakak laki-lakinya ini memilih jalan karirnya sebagai pebisnis, buka usaha bengkel di rumah. Menurut pengakuan si perempuan ini, bengkel itu tidak ramai. Kemudian Mbak Indiah bertanya lagi, bagaimana memenuhi kebutuhan seharu-hari? Perempuan itu menjawab, dialah yang menghidupi. Transfer uang setiap bulan untuk orangtuanya juga keluarga kakaknya. Cerita di atas mengaduk perasaanku. Sekali lagi, tidak tahu mengapa.

Namun, dari kedua kisah tadi, bayang-bayang tentang konstruksi gender dan ketidakadilan gender yang sebelumnya tidak kusadari, seolah diperlihatkan langsung di depan mata. Dan itu juga membantuku lebih mudah untuk memahami bagaimana konstruksi gender dan ketidakadilan gender ini terjadi di lingkungan sekitar. Masih sangat melekat label-label yang sebenarnya buatan manusia itu dianggap sebagai kodrat.

Istilah konstruksi gender sendiri ada karena dibentuk, diajarkan, dan disosialisasikan secara berulang-ulang. Seperti sisi maskulin dan sisi feminin. Keduanya adalah kualitas atau penampilan yang bisa dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Kita bisa memiliki sisi keduanya sekaligus dan sifatnya netral. Yang terjadi di lapangan, biasanya maskulin disimbolkan sebagai kejantanan, laki-laki dan feminin disimbolkan sebagai kelembutan, perempuan.

Relasi Kuasa

Sesi selanjutnya mempelajari tentang relasi kuasa. Proses di sesi ini membuatku jadi lebih ‘melek’ karena dikemas dengan cara yang menarik. Jadi, Mbak Fitri dan Mbak Indiah membagikan sebuah ID Card. Di ID Card sudah tertulis jenis kelamin, usia, dan berbagai macam profesi. Permainannya adalah, Mbak Fitri atau Mbak Indiah membacakan sebuah pernyataan stigma. Kemudian, peserta diminta membayangkan seolah sedang berada di situasi kondisi yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Jika pernyataan yang dibacakan sesuai dengan stigma masyarakat pada umumnya, maka peserta akan memperoleh ikatan tali rafia.

Aku sendiri mendapat ID Card dengan jenis kelamin laki-laki berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai PNS. Dari belasan pernyataan yang dibacakan oleh Mbak Fitri dan Mbak Indiah, tidak satu pun ikatan rafia mampir di aku. Dan terlihat jelas, ikatan rafia lebih banyak mampir ke perempuan. Hal itu membuktikan bahwa jenis kelamin, usia, dan profesi berpengaruh terhadap kekuasaan. Sayangnya, dampak yang ditimbulkan juga lebih banyak didapat perempuan. Yaps, budaya patriaki, dibangun dengan cara laki-laki atau terpusat pada cara pandang laki-laki.

Relasi kuasa menjadi akar penyebab ketidakadilan gender. Bentuk ketidakadilan gender seperti beban ganda, stereotip/anggapan, marjinalisasi, dan subordinasi. Indikator yang dapat membentuk relasi kuasa ini adalah gender, tingkat pendidikan, status ekonomi, status sosial, status kesehatan, usia, orientasi seksual, difabilitas, serta mayoritas/minoritas. Relasi kuasa dapat menimbulkan ketidakadilan gender, sebab mampu memengaruhi bagaimana cara masyarakat merespon suatu peristiwa yang terjadi.

Refleksi Sungai Kehidupan

Untuk menutup persami di hari pertama ini, Mbak Fitri dan Mbak Indiah mengajak para peserta untuk merefleksikan momen-momen kehidupan. Peserta laki-laki dan perempuan dikumpulkan di ruang terpisah. Kami diminta untuk menggambar sebuah sungai di atas kertas HVS dengan crayon/spidol yang sudah disediakan. Kemudian menggambarkan sebuah simbol yang menyatakan momen terpahit dan momen paling bahagia. Setelah itu, secara bergantian kami memaparkan ada cerita apa dibalik gambar yang sudah kami buat. Di sesi ini, lagi-lagi perasaanku serasa diaduk. Bukan karena harus mengorek cerita-cerita tidak menyenangkan dariku. Tapi justru dari cerita-cerita peserta lain yang kemudian membuatku jadi kayak ketrigger. Membuat perasaanku tidak karuan. Terharu dan hal lainnya. Sekelebat ada kisah-kisah traumatik muncul ke permukaan. Mungkin karena itulah tidak sadar airmata ikut berderai.

Di sesi inilah aku juga menyadari bahwa pengalaman perempuan satu dengan perempuan lainnya memiliki cerita yang hampir-hampir mirip. Adanya sesi refleksi ini juga membuatku mengerti bahwa mestinya kita mampu menyeimbangkan antara hal-hal negatif dengan sesuatu yang positif di hidup kita. Ya, mungkin bisa membantu memulihkan luka batin di diri kita masing-masing. Semoga.

Lalu, istirahat dan lanjut besok di hari kedua. Insyaallah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun