"Masalahnya," lanjut Mas Wukir, "dalam sistem pasar yang kita hidupi sekarang, bantuan dianggap beban. Bukan hak. Subsidi dilihat sebagai pengeluaran. Padahal hak atas pangan itu dijamin hukum."
"Undang-undang kita jelas," sambung Lik Tambir. "Pangan itu hak setiap warga negara. Bahkan dalam Pasal 28C UUD 1945. Negara wajib memenuhi, melindungi, dan mewujudkan. Tapi kenyataannya, makan seringkali baru bisa setelah ngantre panjang atau disuruh bersyukur dulu."
"Indonesia sudah meratifikasi ICESCR sejak 2005. Pasal 11 bilang: tiap orang berhak atas pangan yang cukup, bergizi, dan sesuai budaya. Tapi realitasnya, bantuan masih dianggap kemurahan hati pejabat. Padahal bukan bonus. Bukan hadiah."
Lik Tambir berdiri, membungkus beras yang tadi sempat tertunda. Lalu menyerahkan ke Mas Wukir.
"Lima kilo. Semoga cukup untuk seminggu, kalau tidak ada tamu mendadak," katanya.
Mas Wukir tersenyum. "Saya cuma butuh nasi, sedikit waktu tenang, dan kalau boleh: kewarasan. Sisanya bisa diatur."
Ia menyodorkan uang pas. Tidak minta kembalian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI