Lik Tambir berhenti mengikat plastik. Ia diam sebentar, lalu duduk di kursi rotan kecil di belakang rak.
"Sudah saya baca semalam. Katanya musibah. Tapi yang seperti itu bukan yang pertama. Dan sayangnya, bukan yang terakhir."
"Bukan musibah," kata Mas Wukir, kini duduk juga.Â
"Itu kekerasan. Tapi bukan yang pakai tangan. Ini kekerasan yang diam. Sistemik. Pelan-pelan bikin orang sampai harus rebutan untuk bisa makan."
"Yang datang rebutan itu bukan orang malas," sahut Lik Tambir.Â
"Mereka bukan tamu pesta yang datang untuk minta oleh-oleh. Mereka orang yang tidak punya pilihan."
Mas Wukir mengangguk.Â
"Kita sebut mereka prekariat. Hidupnya di pinggir sistem. Kerja tidak tetap, penghasilan harian, tanpa jaminan sosial. Ketika harga beras naik seribu, mereka yang paling goyah."
"Saya lihat sendiri, Mas. Banyak pelanggan saya yang kerja keras. Tapi tiap minggu ngutang dua kali. Kadang mereka sendiri bingung: kerja terus, tapi tetap lapar."
"Dan ketika ada pengumuman 'makanan gratis', mereka datang. Bukan karena tamak. Tapi karena hidup sudah terlalu lama tidak ditengok."
Lik Tambir menatap lantai. Di luar, suara pasar tetap ramai. Tapi di dalam, pembicaraan mereka jauh lebih sunyi.