Mohon tunggu...
Isharyanto Solo
Isharyanto Solo Mohon Tunggu... Penulis

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hak Atas Pangan

25 Juli 2025   19:43 Diperbarui: 25 Juli 2025   19:43 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lik Tambir berhenti mengikat plastik. Ia diam sebentar, lalu duduk di kursi rotan kecil di belakang rak.

"Sudah saya baca semalam. Katanya musibah. Tapi yang seperti itu bukan yang pertama. Dan sayangnya, bukan yang terakhir."

"Bukan musibah," kata Mas Wukir, kini duduk juga. 

"Itu kekerasan. Tapi bukan yang pakai tangan. Ini kekerasan yang diam. Sistemik. Pelan-pelan bikin orang sampai harus rebutan untuk bisa makan."

"Yang datang rebutan itu bukan orang malas," sahut Lik Tambir. 

"Mereka bukan tamu pesta yang datang untuk minta oleh-oleh. Mereka orang yang tidak punya pilihan."

Mas Wukir mengangguk. 

"Kita sebut mereka prekariat. Hidupnya di pinggir sistem. Kerja tidak tetap, penghasilan harian, tanpa jaminan sosial. Ketika harga beras naik seribu, mereka yang paling goyah."

"Saya lihat sendiri, Mas. Banyak pelanggan saya yang kerja keras. Tapi tiap minggu ngutang dua kali. Kadang mereka sendiri bingung: kerja terus, tapi tetap lapar."

"Dan ketika ada pengumuman 'makanan gratis', mereka datang. Bukan karena tamak. Tapi karena hidup sudah terlalu lama tidak ditengok."

Lik Tambir menatap lantai. Di luar, suara pasar tetap ramai. Tapi di dalam, pembicaraan mereka jauh lebih sunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun