Mohon tunggu...
Isharyanto Solo
Isharyanto Solo Mohon Tunggu... Penulis

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hak Atas Pangan

25 Juli 2025   19:43 Diperbarui: 25 Juli 2025   19:43 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pagi itu pasar sudah padat. Pedagang teriak, pembeli menawar, anak kecil lari-larian nyaris nabrak timbangan. Tapi kios sembako Lik Tambir tetap tenang. Letaknya di pojok los, bersih, raknya tertata, dan semua barang diberi label harga.

Lik Tambir berdiri di balik timbangan. Kemeja kotak lengan pendek, celana kain abu, rambut disisir ke samping. Bicaranya pelan, tapi hafal semua pelanggan. Kalau ada yang utang dua minggu lalu, ia tahu. Tapi kalau mereka datang lagi dengan wajah capek, ia juga tahu kapan harus diam.

"Assalamualaikum, Lik," sapa Mas Wukir, sambil menurunkan tas selempang dari bahunya.

"Waalaikumsalam, lho, Mas Wukir. Tumben jam segini sudah di pasar. Biasanya saya lihatnya lewat doang, buru-buru."

"Hari ini agak senggang. Istri saya bilang beras habis, tapi jangan pulang kalau cuma bawa alasan."

Lik Tambir tertawa kecil. "Berarti lima kilo, ya?"

"Betul. Yang medium saja, Lik. Anak-anak saya sudah cukup dewasa untuk tahu beda antara beras bagus dan hidup bagus."

Lik Tambir mulai menakar. Mas Wukir berdiri di samping meja. Ia dosen manajemen di universitas negeri, gelar doktornya diambil di luar negeri. Orangnya tenang, tutur katanya bersih, dan sesekali diundang ke seminar kewirausahaan di mana-mana. Tapi pagi ini ia datang bukan untuk motivasi siapa pun. Ia butuh beras.

"Pasar ramai, ya," ujarnya sambil melirik sekeliling.

Lik Tambir mengangguk. "Ramai, tapi belum tentu belanja. Banyak yang cuma banding harga. Beberapa nunggu transfer masuk dulu baru beli."

Mas Wukir menarik napas pelan. "Saya baru baca berita pagi ini. Beberapa orang meninggal waktu hajatan seorang pejabat."

Lik Tambir berhenti mengikat plastik. Ia diam sebentar, lalu duduk di kursi rotan kecil di belakang rak.

"Sudah saya baca semalam. Katanya musibah. Tapi yang seperti itu bukan yang pertama. Dan sayangnya, bukan yang terakhir."

"Bukan musibah," kata Mas Wukir, kini duduk juga. 

"Itu kekerasan. Tapi bukan yang pakai tangan. Ini kekerasan yang diam. Sistemik. Pelan-pelan bikin orang sampai harus rebutan untuk bisa makan."

"Yang datang rebutan itu bukan orang malas," sahut Lik Tambir. 

"Mereka bukan tamu pesta yang datang untuk minta oleh-oleh. Mereka orang yang tidak punya pilihan."

Mas Wukir mengangguk. 

"Kita sebut mereka prekariat. Hidupnya di pinggir sistem. Kerja tidak tetap, penghasilan harian, tanpa jaminan sosial. Ketika harga beras naik seribu, mereka yang paling goyah."

"Saya lihat sendiri, Mas. Banyak pelanggan saya yang kerja keras. Tapi tiap minggu ngutang dua kali. Kadang mereka sendiri bingung: kerja terus, tapi tetap lapar."

"Dan ketika ada pengumuman 'makanan gratis', mereka datang. Bukan karena tamak. Tapi karena hidup sudah terlalu lama tidak ditengok."

Lik Tambir menatap lantai. Di luar, suara pasar tetap ramai. Tapi di dalam, pembicaraan mereka jauh lebih sunyi.

"Masalahnya," lanjut Mas Wukir, "dalam sistem pasar yang kita hidupi sekarang, bantuan dianggap beban. Bukan hak. Subsidi dilihat sebagai pengeluaran. Padahal hak atas pangan itu dijamin hukum."

"Undang-undang kita jelas," sambung Lik Tambir. "Pangan itu hak setiap warga negara. Bahkan dalam Pasal 28C UUD 1945. Negara wajib memenuhi, melindungi, dan mewujudkan. Tapi kenyataannya, makan seringkali baru bisa setelah ngantre panjang atau disuruh bersyukur dulu."

"Indonesia sudah meratifikasi ICESCR sejak 2005. Pasal 11 bilang: tiap orang berhak atas pangan yang cukup, bergizi, dan sesuai budaya. Tapi realitasnya, bantuan masih dianggap kemurahan hati pejabat. Padahal bukan bonus. Bukan hadiah."

Lik Tambir berdiri, membungkus beras yang tadi sempat tertunda. Lalu menyerahkan ke Mas Wukir.

"Lima kilo. Semoga cukup untuk seminggu, kalau tidak ada tamu mendadak," katanya.

Mas Wukir tersenyum. "Saya cuma butuh nasi, sedikit waktu tenang, dan kalau boleh: kewarasan. Sisanya bisa diatur."

Ia menyodorkan uang pas. Tidak minta kembalian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun