Pagi itu pasar sudah padat. Pedagang teriak, pembeli menawar, anak kecil lari-larian nyaris nabrak timbangan. Tapi kios sembako Lik Tambir tetap tenang. Letaknya di pojok los, bersih, raknya tertata, dan semua barang diberi label harga.
Lik Tambir berdiri di balik timbangan. Kemeja kotak lengan pendek, celana kain abu, rambut disisir ke samping. Bicaranya pelan, tapi hafal semua pelanggan. Kalau ada yang utang dua minggu lalu, ia tahu. Tapi kalau mereka datang lagi dengan wajah capek, ia juga tahu kapan harus diam.
"Assalamualaikum, Lik," sapa Mas Wukir, sambil menurunkan tas selempang dari bahunya.
"Waalaikumsalam, lho, Mas Wukir. Tumben jam segini sudah di pasar. Biasanya saya lihatnya lewat doang, buru-buru."
"Hari ini agak senggang. Istri saya bilang beras habis, tapi jangan pulang kalau cuma bawa alasan."
Lik Tambir tertawa kecil. "Berarti lima kilo, ya?"
"Betul. Yang medium saja, Lik. Anak-anak saya sudah cukup dewasa untuk tahu beda antara beras bagus dan hidup bagus."
Lik Tambir mulai menakar. Mas Wukir berdiri di samping meja. Ia dosen manajemen di universitas negeri, gelar doktornya diambil di luar negeri. Orangnya tenang, tutur katanya bersih, dan sesekali diundang ke seminar kewirausahaan di mana-mana. Tapi pagi ini ia datang bukan untuk motivasi siapa pun. Ia butuh beras.
"Pasar ramai, ya," ujarnya sambil melirik sekeliling.
Lik Tambir mengangguk. "Ramai, tapi belum tentu belanja. Banyak yang cuma banding harga. Beberapa nunggu transfer masuk dulu baru beli."
Mas Wukir menarik napas pelan. "Saya baru baca berita pagi ini. Beberapa orang meninggal waktu hajatan seorang pejabat."