Namun ketika saat ini internet dan media sosial tidak bisa kita pisahkan dari kehidupan sehari-hari, benturan-benturan peradaban justru terjadi dalam skala dan ruang lingkup yang kecil, bukan lagi benturan antar bangsa atau antara peradaban, tapi yang terjadi adalah benturan antar kelompok masyarakat atau bahkan antar individu. Alvara Research Center menyebutnya Clash of "We". Silahkan klik untuk membacanya, [Clash of We]
Masyarakat menjadi semakin terbelah antara aku atau kamu, antara kami atau mereka. Perdebatan tidak produktif semakin kerap terjadi, perdebatan itu bukan lagi untuk mencari yang benar atau salah tapi lebih menjurus pada menang-kalah. Kita pada akhirnya hanya akan mencari informasi yang cocok dengan keyakinan kita dan kita akan merasa puas apabila menemukan informasi yang mendukung argumentasi kita dalam mengalahkan pihak "lawan" meski informasi itu tidak jelas sumber dari mana.
Cermati di medsos. Menurut survei tahun 2015, 37,8% (93,4 juta jiwa) warga Indonesia sudah terkoneksi internet dan dominan dinikmati oleh anak muda. Tahun depan, 2019 diprediksi menjadi 133,5 juta jiwa. Woow, internet menjadi penjajah baru di rumah-rumah tangga, anak anak direbut dari ortunya.
Sesungguhnya musuh yg paling berbahaya adalah yang paling dekat dengan diri kita, sialnya diri pribadi justru terlena karena tidak menyadarinya. Televisi, smartphone, radiasi EM, dll. Unik baca di tulisan yang dicuplik Renald Khasali, tentang keberadaan televisi di awal-awal tahun 70-an, yang mampu merebut harmoni cinta dalam keluarga. Untuk saat ini, hangpong hangpong menjadi idola atau hantu zaman now. Kalo mau baca lihat postingan sy terdahulu: Orang Asing: The Stranger.
Logika biner
Prihatin ya, medsos menjadi media penggerak jiwa-jiwa generasi muda Indonesia saat ini. Baik buruknya, positif negatifnya, konstruktif destruktifnya medsos saat ini, dan bagaimana generasi seusia mahasiswa saat ini berproses, itulah wajah bangsa Indonesia di tahun 2045. Saat di mana usia kemerdekaan sudah 100 tahun. Sampaikah kita di tahun 2045, Indonesia Emas? Atau sudah terhenti di 2030 sesuai dengan prediksi di Novel Ghost Fleet?
Jadi jangan membiasakan diri berfikir biner! Kata Derrida dalam Dekonstruksi, kebiasaan berpikir "oposisi biner" itu implikasinya akn melahirkan "hirarki dan sub-ordinasi", biasanya alam bawah sadarnya cenderung menganggap yang satu tinggi dan yang satu rendah, satu konotasinya positif dan satu konotasinya negatif, satu di atas satu di bawah. Itu namanya "hirarki dan sub-ordinasi". Benar di saya, salah di kau! Ampyunn...
Yang menyarankan untuk berfikir optimis dan positif juga betul asal tidak secara bersamaan menghujat aspek kehatihatian, kewaspadaan. Karena berfikir positif dengan menyalahkan dan menganggap pendapat yang lain negatif dan tidak membawa manfaat, itu juga bentuk egoisme. Nah khan...
Yang paling bijak, berfikir dan bersikap bijak...hahaiiii. Jadilah orang bijak. Bagaimana trik menjadi orang bijak? Tidak ada triknya, karena trik itu cara cara instan. Jadi jangan berprinsip instan. Bagaimana menghindari untuk bertindak instan, ya tentu menghargai proses. Kalau anda masih baca tulisan saya sampai alinea ini, berarti anda orang yang mngkin sukses dalam berproses...karena tulisan ngelantur begini masih diikuti...hahaha.
Slamat siang. Izin upload dan undur diri utk menunaikan tugas, mengisi kepala-kepala anak muda yang akan jadi pemimpin di 2045. INDONESIA EMAS...
alifis@corner 270318 13:31