Defensif, seolah-olah kritik siswa adalah serangan pribadi.
Merendahkan, dengan nada bicara yang lebih cocok digunakan untuk menginterogasi daripada berdialog.
Padahal, sebagai pemimpin, tanggung jawabnya adalah mendengar, bukan sekadar memberi perintah. Jika seorang gubernur saja tidak bisa menanggapi anak SMA dengan santun, bagaimana mungkin ia diharapkan memahami kompleksitas masalah lain di Jawa Barat?
Daripada langsung melarang wisuda secara total, seharusnya ada solusi kreatif yang bisa dipertimbangkan seperti menyediakan paket wisuda terjangkau dengan biaya patungan sederhana, menerapkan format hybrid yang menggabungkan acara luring terbatas dengan siaran daring untuk keluarga, atau melibatkan dunia usaha melalui sponsorship untuk menanggung sebagian biaya acara, sayangnya alternatif-alternatif solutif ini tidak pernah benar-benar dibahas karena pembicaraan justru terjebak pada dikotomi "benar versus salah" alih-alih berfokus pada pencarian solusi praktis tentang "bagaimana caranya" mewujudkan wisuda yang bermakna namun tetap efisien.
Yang Terancam Hilang: Kepercayaan pada Pemimpin
Dampak terbesar dari debat ini bukan pada kebijakan wisuda, tapi pada erosi kepercayaan generasi muda terhadap pemimpinnya. Ketika seorang siswa yang menyampaikan pendapat secara sopan direspons dengan ketus, pesan yang sampai adalah: "Pendapatmu tidak penting."
Padahal, demokrasi sehat dimulai dari kemampuan pemimpin menerima kritik, sekecil apa pun sumbernya.
Jangan Bunuh Kegembiraan atas Nama Efisiensi
Pendidikan bukan hanya tentang ujian dan ijazah. Ada dimensi manusiawi yang perlu dirawat: kebahagiaan, kebanggaan, dan rasa memiliki. Melarang wisuda mungkin menghemat uang, tapi berapa harga yang harus dibayar untuk mematikan sukacita anak-anak yang sudah melalui masa sulit pembelajaran?
Sebelum membuat kebijakan, cobalah bertanya: Apakah ini membuat hidup warga lebih baik, atau hanya membuat administrasi terlihat rapi di atas kertas?
Bagaimana pendapat Anda?