Ketika PKBM diperkuat, angka 10.799 ATS dapat menurun, mengubah data menjadi cerita keberhasilan anak-anak kembali bersekolah.
Pendidikan sebagai Gerakan Sosial
Penanganan ATS bukan sekadar program pemerintah, tetapi gerakan sosial yang melibatkan seluruh masyarakat. Kepala desa, masyarakat, dan dunia usaha perlu berkolaborasi: deteksi anak putus sekolah, dukungan PKBM, beasiswa, dan akses pembelajaran digital.
Pendekatan berbasis budaya lokal dan nilai tanggung jawab sosial memperkuat fondasi moral pendidikan. Anak-anak belajar dalam konteks yang familiar, sehingga motivasi dan partisipasi meningkat.
Pemberdayaan komunitas dan kapasitas PKBM secara simultan meningkatkan partisipasi pendidikan anak yang putus sekolah (Baihakqi, 2025). Integrasi program formal dan nonformal menciptakan ekosistem belajar inklusif (RLPPD Wajo, 2024).
John Dewey menekankan pengalaman belajar sebagai interaksi sosial untuk membentuk warga yang aktif dan kritis (Dewey, 1938). Pendidikan harus membangun kesadaran kolektif, bukan sekadar memenuhi angka target.
Dengan sinergi semua pihak, pendidikan di Wajo bisa berubah dari program menjadi gerakan sosial yang nyata, menyalakan harapan bagi setiap anak.
Menjaga Api Harapan di Tengah Keterbatasan
Di Wajo, guru dan tutor setia mengajar di pelosok, menempuh jalan berlumpur dan menyeberangi sungai tanpa pamrih---merekalah penjaga harapan sejati. Pendidikan bukan sekadar gaji, tetapi panggilan hati. Ki Hadjar Dewantara menegaskan guru harus mendorong tumbuhnya potensi anak.
Dengan kemauan politik kuat, kebijakan berbasis data, dan kolaborasi masyarakat, Wajo bisa menurunkan ATS secara signifikan. 10.799 anak harus kembali ke ruang belajar. Angka ini adalah ujian moral, panggilan untuk bertindak nyata, bukan sekadar formalitas.
Pendidikan sejati adalah tentang kemanusiaan. Jika kita menyalakan api harapan bersama, masa depan anak-anak Wajo tidak lagi menjadi angka, tetapi cerita keberhasilan yang hidup.