"Jadi mereka melihat seperti wisata syariah Aceh. Di Aceh memang hukumnya syariah, jadi sudah sejak awal terikat hukum syariah. Sementara provinsi yang lain tidak seperti itu," jelas Sari.
Sama halnya seperti di Sumatera Barat masih pakai hukum adat, belum diundangkan sebagai provinsi syariah seperti di Aceh.
Namun, ada persepsi bahwa di Sumbar menggunakan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat itu berfalsafah pada Al Qur'an), maka setiap kegiatan harus bereferensi kitab suci tersebut.
Hal inilah yang membuat mispersepsi muncul, sehingga membuat banyak masyarakat bingung. Masyarakat menganggap wisata di kedua provinsi tersebut sama dengan wisata religi.
Padahal, yang betul bukan wisatanya yang disyariatkan, tapi wisata biasa yang ada tambahan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan muslim.
Namun demikian, wisatawan non-muslim pun tidak boleh diabaikan dan sangat diharapkan merasa nyaman-nyaman saja di daerah yang pariwisata halalnya dominan.
Ada fenomena menarik dalam perkembangan pariwisata di Sumbar. Hingga era 1980-an masih gampang menemukan turis bule di berbagai objek wisata di Ranah Minang itu.
Bahkan, para pelajar yang lagi senang-senangnya mempraktikkan kemampuan bahasa Inggris, banyak yang datang ke Bukittinggi, kota wisata yang terkenal dengan Jam Gadang yang ikonik dan Ngarai Sianok yang indah.
Di kedua objek wisata tersebut berkeliaran turis bule dari Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, dan sebagainya. Nah, mereka itulah yang diajak bercas-cis-cus oleh pelajar yang dapat ilmu dari kursus bahasa Inggris.
Masalahnya, sejak beberapa tahun terakhir ini, sangat langka untuk menemukan turis bule di Sumbar, termasuk di kota Bukittinggi sekalipun.
Bukannya tidak ada wisatawan asing ke Sumbar, tapi rata-rata adalah wisatawan muslim asal Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand bagian selatan.