Bukankah selama ini masyarakat non-muslim juga banyak yang menyukai makanan halal, bahkan turis bule yang doyan nasi Padang pun banyak.
Beberapa keluarga non muslim sengaja menginap di hotel syariah karena merasa aman, dijamin bebas dari pemandangan perempuan "nakal".
Ada salah kaprah lainnya, masyarakat mengira wisata halal sama dengan wisata religi atau syariah, seolah-olah hanya berkunjung ke masjid yang indah untuk berfoto-foto.
Padahal kedua konsep ini memiliki perbedaan signifikan, karena pada dasarnya wisata halal adalah wisata biasa plus tambahan fasilitas.
"Jadi masalah pemahaman pariwisata halal, yang jadi bias di masyarakat. Karena masyarakat mikirnya wisata halal itu sama dengan wisata syariah atau religi," ujar Pakar Pariwisata Universitas Andalas, Sari Lenggogeni, kepada Republika Senin (25/3/2021) dikutip dari republika.co.id.
Sari menjelaskan wisata halal merupakan adopsi dari negara- negara di luar Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang melihat potensi besar dari pertumbuhan muslim di seluruh dunia.Â
Wisata halal diciptakan untuk mewadahi kebutuhan beribadah bagi para muslim yang berkunjung ke negara- negara non OKI, seperti penyediaan tempat ibadah dan restoran halal.
"Tetapi hal ini kemudian menjadi misinterpretasi ketika Kementerian Pariwisata mengadopsi wisata halal, karena diciptakan di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia. Karena mayoritas muslim jadi masyarakat pikir semuanya sudah pasti halal dan wisata halal sama seperti wisata religi," paparnya.
Secara umum ada tiga jenis wisata religi. Pertama, wisata dengan tujuan beribadah (pilgrim) seperti naik haji dan umroh.Â
Kedua, wisata yang bersifat islami, contohnya berwisata ke Turki atau Mesir untuk melihat sejarah kebudayaan Islam usai melakukan ibadah umroh.Â
Ketiga, wisata halal yakni pemenuhan ibadah umat muslim saat mereka berwisata seperti tersedianya mushola, restoran halal, dan hal lain yang diuraikan di bagian pendahuluan tulisan ini.