Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balas Dendam yang Manis, Air Tuba Dibalas Air Susu

9 Agustus 2022   07:10 Diperbarui: 9 Agustus 2022   07:13 1759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi balas dendam|dok. satupersen.net

Anda mungkin sudah sering mendengar pepatah "air susu dibalas dengan air tuba". Ini pepatah lama memang, sehingga kalau anak sekarang tidak tahu apa itu tuba, wajar saja.

Tuba adalah pohon yang akarnya beracun. Air tuba adalah air yang beracun, yakni racun yang berasal dari getah yang diambil dari pohon tuba.

Jadi, pepatah di atas lazimnya digunakan untuk menggambarkan suatu perbuatan baik yang dibalas dengan perbuatan buruk.  

Misalnya, ada seseorang yang sudah diterima bekerja sebagai pengemudi kendaraan pribadi, namun kemudian si pengemudi malah mencuri uang majikannya.

Biasanya, mereka yang menerapkan pepatah di atas dituding sebagai "tidak tahu di untung". Akibatnya, orang lain akan enggan, bahkan kapok, untuk membantunya.

Tapi, kisah berikut ini justru kebalikan dari pepatah di atas, yakni air tuba dibalas air susu. Ya, anggaplah sebagai sebuah balas dendam yang manis.

Ini kisah masa kecil saya sekitar 50 tahun lalu di Payakumbuh, Sumbar. Perlu diketahui, adat yang berlaku pada masyarakat Minang, lelaki yang sudah punya istri akan tinggal di rumah istrinya, kecuali bila sudah punya rumah sendiri.

Rumah istri tersebut maksudnya rumah milik orangtua istri. Rumah tersebut kalau sudah jadi warisan, secara adat memang menjadi milik anak-anak perempuan, sedangkan anak laki-laki tidak berhak.

Nah, yang dialami ayah dan ibu saya dulu seperti bertentangan dengan adat Minang, karena ibu saya tinggal di rumah mertuanya.

Hal itu sebetulnya karena memenuhi permintaan dari kakek dan nenek saya (dari pihak ayah). Ayah saya diminta untuk meneruskan usaha kerajinan kakek yang lokasi usahanya menyatu dengan rumah.

Ayah tak mampu menolak permintaan tersebut, walaupun sebetulnya ayah masih ingin melanjutkan pendidikannya. Tapi, sebagai anak tertua, ayah diminta mengalah dan adik-adiknyalah kelak yang sukses dalam pendidikan dan banyak yang menjadi guru.

Ringkas cerita, di rumah kakek saya itu, saat saya kecil di tahun 60-an hingga 70-an, ada 3 keluarga yang tinggal, termasuk keluarga ayah saya yang mendiami bagian samping rumah (semacam paviliun sangat sederhana).

Sedangkan 2 keluarga lagi adalah adik-adik perempuan ayah saya yang masing-masing mendiami kamar tersendiri di rumah utama.

Karena ekonomi keluarga kami yang termasuk pas-pasan, ibu saya berinisiatif membuka warung kecil di pojok rumah, menjual rokok, makanan kecil, minyak tanah, kayu bakar, dan sebagainya.

Masalahnya, salah satu keluarga adik ayah itu cukup sering menyindir kami. Mereka (saudara sepupu saya) menyebut kami sebagai menumpang di rumah tersebut.

Sepertinya, mereka ingin menguasai warung yang mulai semakin ramai pelanggannya setelah kakak lelaki saya lebih fokus mengurus.

Saya dan kakak-kakak saya merasa sedih sekali, merasa sakit hati setiap kali sepupu tersebut menyindir kami sebagai orang yang hidup menumpang.

Ibu saya menyuruh bersabar saja dan kami sama sekali tidak meladeni sindiran tersebut, meskipun dalam hati saya sangat terpukul.

Kakak lelaki saya juga terlihat sekali mentalnya down, karena jadi tindak nyaman bila saat menjaga warung, ada sepupu saya yang mengintimidasi.

Tapi, semua tentu ada hikmahnya. Saya tidak mau berdebat soal warisan, karena kalau mengacu pada hukum Islam, sebetulnya hak ayah saya sebagai anak lelaki justru lebih besar dari saudaranya yang wanita.

Tekad saya bulat sudah, begitu saya tamat kuliah dan mendapat pekerjaan, segera berembuk dengan kakak-kakak lain yang sudah bekerja.

Membeli sebidang tanah untuk membangun rumah bagi ayah saya (ketika itu ibu sudah meninggal), termasuk membangun warung harian di bagian depannya untuk kakak, berhasil kami wujudkan, di lokasi 2 km dari tempat yang lama arah ke Bukittinggi.

Kakak saya yang takut kehilangan pelanggan lama, malah makin banyak pelanggannya. Pelanggan lama tidak keberatan berbelanja lebih jauh, dan tetangga baru juga jadi pelanggan.

Justru sepupu saya yang coba-coba berjualan di warung yang ditinggalkan kakak saya, akhirnya terpaksa menutup usahanya karena sepi pembeli.

Kejujuran menjadi kunci sukses kakak saya. Harga yang murah, takaran dan timbangan yang betul (bahkan sedikit dilebihkan untuk pembeli) membuat pelanggan tak mau pindah ke warung lain.

Di lain pihak, keluarga yang dulu sering menyindir kami, kehidupannya kemudian semakin banyak dililit masalah.

Meskipun adik perempuan ayah tersebut seorang guru, tapi suaminya bisa dikatakan tidak punya pekerjaan. Pernah beternak ayam dan pernah berkali-kali berganti barang dagangan, tapi tidak membuahkan hasil, justru membuahkan utang ke beberapa orang.

Adik ipar ayah saya itu bagi kami adalah sosok yang paling pedih kata-katanya. Sesekali ngomong, tapi menyakitkan. Terlihat sekali ambisinya untuk menguasai warung ketika kakak saya masih di sana.

Ketika ayah saya baru pindah ke rumah baru, adik ipar ayah tersebut meninggal dunia. Ada 3 anak yang ditinggalkannya, tapi hanya anak nomor 2 yang hidupnya lumayan. Ia seorang perempuan, sarjana pendidikan dan jadi guru di sebuah SMP negeri.

Putra sulungnya menikah muda dan punya banyak anak dan sekarang lagi menderita stroke. Dan yang paling menyedihkan adalah putri bungsunya.

Putri tersebut bersama suaminya yang bekerja serabutan tinggal dengan mengontrak rumah sangat sederhana di Tangerang.

Mereka tinggal di kawasan penyangga ibu kota tersebut sejak belasan tahun lalu, karena di kota asalnya, mereka tidak tahan dengan kedatangan para penagih utang.

Parahnya, dia dalam kondisi sakit di bagian punggungnya yang bersifat permanen, sehingga harus berjalan memakai tongkat.

Putri bungsu tersebut juga punya banyak anak, sehingga kehidupannya boleh dikatakan sulit. Sebelum ibunya meninggal dunia pada 2017 lalu, saya yang ketika itu sedang di kampung sempat membezuk karena si ibu tengah sakit.

Ketika itulah si ibu mengucapkan terima kasih kepada saya karena mengetahui bahwa saya sudah berkali-kali membantu keuangan putri bungsunya, sambil berharap saya tetap membantu di masa mendatang.

Memang, saya bersama seorang kakak dan 2 orang adik saya, relatif sering dikirimi pesan singkat oleh si putri bungsu yang sepupu saya itu.

Isi pesan singkat tersebut, ya, pada intinya menceritakan  kesulitan yang dialaminya, baik yang berkaitan dengan penyakitnya, maupun untuk kehidupan sehari-harinya. 

Ujung dari pesan tersebut adalah memohon dikirimkan uang ke nomor rekening yang telah dicantumkannya pada pesan singkat itu.

Jadilah kami berempat bergiliran mentransfer uang. Adakalanya pesan yang sama dikirim ke kami berempat sekaligus. Sepupu saya itu merasa kami berempat tidak saling menginformasikan soal bantuan ke sepupu itu.

Padahal, kami saling mengkonfirmasi, bertanya apakah yang lain dapat pesan. Kami sekaligus berembuk, kali ini siapa yang membantu, agar tidak tumpang tindih.

Sebetulnya, kakak si putri bungsu ini yang hidupnya lumayan, yakni yang jadi guru yang telah di tulis di atas, sudah kami ajak berunding bagaimana caranya agar si bungsu tersebut bisa mandiri. 

Sayangnya, kakaknya mengaku sudah capek membantu dan menasehati adiknya, sehingga terkadang ia tak lagi mempedulikan adiknya.

Kalau saya ingat-ingat perlakuan di masa lalu yang kami terima dari sepupu tersebut dan juga dari orangtuanya, tentu kami punya kesempatan emas untuk "menghajar"-nya dengan kata-kata yang menusuk hati.

Tapi, kami tidak mengambil kesempatan untuk membalas dengan cara yang sama menyakitkan seperti yang dulu kami alami.

Memang, salah seorang kakak saya pernah mengusulkan untuk setop membantu, bukan karena dendam atas masa lalu, tapi karena kakak menilai sepupu yang dibantu ini sudah berbohong dalam mengirim pesan.

Terlalu sering membantu menurut kakak saya itu juga tidak mendidik, malah membuat ketergantungan orang yang dibantu.

Terlepas dari apakah ia berbohong atau bukan, akhirnya kami sepakat, inilah cara kami "balas dendam", yakni balas dendam yang manis, air tuba dibalas dengan air susu.

Tidak ada niat saya untuk pamer berbuat kebajikan melalui tulisan ini, karena kebajikan tersebut mutlak memerlukan syarat keikhlasan, tanpa pamrih.

Pesan moral bagi saya sendiri, syukur-syukur juga bagi pembaca yang sependapat, dalam kondisi perubahan yang amat cepat akibat perkembangan teknologi, kita perlu konsisten berbuat baik bagi sesama manusia.

Berbuat baik memang tidak selalu berarti dengan memberikan donasi. Tapi, harus diakui, tingkat literasi keuangan seseorang menjadi hal penting agar bisa konsisten berbuat baik.

Maybank Finance merupakan salah satu perusahaan yang concern dalam membantu solusi keuangan para nasabahnya. Sedangkan cara berbuat kebajikan, bisa dipelajari dari grup komunitas Kompasianer Mettasik.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun