Ringkas cerita, di rumah kakek saya itu, saat saya kecil di tahun 60-an hingga 70-an, ada 3 keluarga yang tinggal, termasuk keluarga ayah saya yang mendiami bagian samping rumah (semacam paviliun sangat sederhana).
Sedangkan 2 keluarga lagi adalah adik-adik perempuan ayah saya yang masing-masing mendiami kamar tersendiri di rumah utama.
Karena ekonomi keluarga kami yang termasuk pas-pasan, ibu saya berinisiatif membuka warung kecil di pojok rumah, menjual rokok, makanan kecil, minyak tanah, kayu bakar, dan sebagainya.
Masalahnya, salah satu keluarga adik ayah itu cukup sering menyindir kami. Mereka (saudara sepupu saya) menyebut kami sebagai menumpang di rumah tersebut.
Sepertinya, mereka ingin menguasai warung yang mulai semakin ramai pelanggannya setelah kakak lelaki saya lebih fokus mengurus.
Saya dan kakak-kakak saya merasa sedih sekali, merasa sakit hati setiap kali sepupu tersebut menyindir kami sebagai orang yang hidup menumpang.
Ibu saya menyuruh bersabar saja dan kami sama sekali tidak meladeni sindiran tersebut, meskipun dalam hati saya sangat terpukul.
Kakak lelaki saya juga terlihat sekali mentalnya down, karena jadi tindak nyaman bila saat menjaga warung, ada sepupu saya yang mengintimidasi.
Tapi, semua tentu ada hikmahnya. Saya tidak mau berdebat soal warisan, karena kalau mengacu pada hukum Islam, sebetulnya hak ayah saya sebagai anak lelaki justru lebih besar dari saudaranya yang wanita.
Tekad saya bulat sudah, begitu saya tamat kuliah dan mendapat pekerjaan, segera berembuk dengan kakak-kakak lain yang sudah bekerja.
Membeli sebidang tanah untuk membangun rumah bagi ayah saya (ketika itu ibu sudah meninggal), termasuk membangun warung harian di bagian depannya untuk kakak, berhasil kami wujudkan, di lokasi 2 km dari tempat yang lama arah ke Bukittinggi.