Kakak saya yang takut kehilangan pelanggan lama, malah makin banyak pelanggannya. Pelanggan lama tidak keberatan berbelanja lebih jauh, dan tetangga baru juga jadi pelanggan.
Justru sepupu saya yang coba-coba berjualan di warung yang ditinggalkan kakak saya, akhirnya terpaksa menutup usahanya karena sepi pembeli.
Kejujuran menjadi kunci sukses kakak saya. Harga yang murah, takaran dan timbangan yang betul (bahkan sedikit dilebihkan untuk pembeli) membuat pelanggan tak mau pindah ke warung lain.
Di lain pihak, keluarga yang dulu sering menyindir kami, kehidupannya kemudian semakin banyak dililit masalah.
Meskipun adik perempuan ayah tersebut seorang guru, tapi suaminya bisa dikatakan tidak punya pekerjaan. Pernah beternak ayam dan pernah berkali-kali berganti barang dagangan, tapi tidak membuahkan hasil, justru membuahkan utang ke beberapa orang.
Adik ipar ayah saya itu bagi kami adalah sosok yang paling pedih kata-katanya. Sesekali ngomong, tapi menyakitkan. Terlihat sekali ambisinya untuk menguasai warung ketika kakak saya masih di sana.
Ketika ayah saya baru pindah ke rumah baru, adik ipar ayah tersebut meninggal dunia. Ada 3 anak yang ditinggalkannya, tapi hanya anak nomor 2 yang hidupnya lumayan. Ia seorang perempuan, sarjana pendidikan dan jadi guru di sebuah SMP negeri.
Putra sulungnya menikah muda dan punya banyak anak dan sekarang lagi menderita stroke. Dan yang paling menyedihkan adalah putri bungsunya.
Putri tersebut bersama suaminya yang bekerja serabutan tinggal dengan mengontrak rumah sangat sederhana di Tangerang.
Mereka tinggal di kawasan penyangga ibu kota tersebut sejak belasan tahun lalu, karena di kota asalnya, mereka tidak tahan dengan kedatangan para penagih utang.
Parahnya, dia dalam kondisi sakit di bagian punggungnya yang bersifat permanen, sehingga harus berjalan memakai tongkat.