Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Meninggalkan Dunia Hitam, Tak Ada Lagi Ritual Mencabut Uban

24 Oktober 2021   11:45 Diperbarui: 24 Oktober 2021   11:46 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uban yang mulai tumbuh|dok. istimewa/merdeka.com

Pagi Minggu (24/10/2021), saya kebetulan lagi malas ke mana-mana. Sebetulnya, bukan kebetulan juga, karena pemalas itu sudah jadi penyakit saya sejak lama.

Sambil mengaca memandangi wajah sendiri, saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa ya saya terlihat tua dan lelah?

Apakah waktu demikian cepat berlalu? Perasaan saya baru kemarin perayaan tahun baru 2021, sekarang kalender 2021 sudah hampir berakhir.

Mata saya lama terpaku menatap rambut. Saya bersyukur masih punya rambut yang merata di semua bagian kepala.

Padahal, tidak sedikit teman saya seusia yang kepalanya bolong-bolong, pada bagian tertentu licin tanpa rambut.

Bahkan, yang kepalanya tanpa sehelai rambut pun juga ada, sehingga sering dipakai untuk mengaca oleh teman-teman saya.

Agar teman saya tidak bisa lagi mengaca, teman yang berkepala plontos ini akhirnya selalu memakai topi.

Saya teringat pengalaman belasan tahun lalu, dua orang anak saya sering saling berlomba adu banyak mencabut uban di kepala saya. 

Mereka  berebutan menyibak rambut saya dari berbagai sisi sehingga jadi berisik.

Ketika itu uban saya belum banyak, sehingga kalau ada uban yang menyumbul, saya anggap merusak penampilan. 

Biasanya, bila saya lagi menyisir rambut, sekilas ada terlihat yang berwarna putih. 

Untuk yang di bagian depan, saya masih bisa mencabut uban sendiri dan ada kepuasan psikologis ketika uban tercabut.

Tapi, untuk uban yang di bagian belakang, jelas saya tak bisa main akrobat mencabutnya.

Makanya timbul ide brilian, bagaimana kalau saya mengkaryakan anak-anak sendiri. 

Menurut saya, hal tersebut tidak akan menyebabkan Kementerian Tenaga Kerja menyalahkan saya.

Agar anak-anak bersemangat mencabut uban, perlu saya iming-imingi dengan pemberian upah. 

Kalau tidak salah ingat sehelai uban saya hargai Rp 1.000. Jumlah sebegitu, bagi anak usia SD ketika itu masih lumayan.

Apalagi, kalau seorang anak dapat 10 helai uban, ada uang jajan ekstra selain uang jajan yang rutin saat mereka ke sekolah.

Tapi, semua itu hanya cerita masa lalu, menjadi kenangan bahwa saya pernah berada pada tahap "mengingkari" tanda-tanda penuaan.

Sekarang, jelas saya tekor jika anak saya masih mau mencabut uban, saya mau bayar berapa jika ratusan helai mereka cabut.

Lagipula, anak-anak saya sudah besar semua, yang bungsu saja lagi menulis skripsi S-1. Pasti mereka tidak tertarik lagi mencbut uban.

Sudah lama sebetulnya saya tidak lagi melakukan ritual mencabut uban, tepatnya ketika saya bertekad meninggalkan "dunia hitam".

Meskipun demikian, saya juga belum secara total sepenuhnya memasuki "dunia putih".

Ya, tepatnya dunia saya masih abu-abu, sehingga ada teman saya yang bingung warna apa yang cocok untuk mendeskripsikan rambut saya.

Sebetulnya, setiap saya pangkas rambut di sebuah barber shop langganan saya, saya selalu ditawari untuk mengecat rambut.

Namun, karena saya sudah ikhlas meninggalkan dunia hitam, saya sedikit pun tidak berminat untuk menerima tawarannya.

Malasnya saya mengecat rambut tak ada hubungannya dengan keyakinan. Memang, sebagian penceramah agama tidak membenarkan mengecat rambut.

Alasannya, uban itu adalah peringatan dari Allah agar kita waspada dengan waktu yang berjalan cepat, jadi harus segera tobat.

Dalam hal ini, mengecat rambut bisa ditafsirkan sebagai melawan kodrat, menantang peringatan Allah.

Saya tidak ingin mengomentari pandangan penceramah agama di atas. Bagi saya, yang bikin malas adalah untuk bisa konsisten mengecat rambut, minimal sebulan sekali.

Mungkin juga kenapa dunia hitam cepat sekali harus saya tinggalkan, berhubungan dengan dosa masa lalu saya.

Soalnya, entah mitos atau fakta, kata orang mencabut uban malah memancing tumbuhnya uban yang lebih banyak.

Kalau itu bukan mitos, sungguh acara cabut uban saya yang berkolaborasi dengan anak-anak sendiri merupakan dosa masa lalu dan berakibat fatal.

Tapi, sekadar untuk menghibur diri, saya mengatakan bahwa dengan meninggalkan dunia hitam, (seharusnya) saya sudah semakin bijak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun