Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sisi Kelam Dampak Pandemi, Waspadai Eksploitasi Pekerja Anak

2 Agustus 2021   18:27 Diperbarui: 2 Agustus 2021   18:32 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: cdnimage.terbitsport.com, dimuat idntimes.com

Pada Sabtu  pagi (31/7/2021), saya menemani istri berbelanja ke minimarket yang terdekat dari rumah. Sejak sebulan terakhir, saya tidak lagi berbelanja di sebuah pasar swalayan langganan yang terkenal dengan stok yang lengkap dan harga yang murah.

Saya tidak tahan dengan ramainya pengunjung di tempat langganan itu, karena harus mengambil nomor antrean untuk bisa masuk ke dalam pasar swalayan. 

Tak pelak lagi, meskipun diatur agar di halamam depan yang jadi ruang tunggu dadakan, masing-masing orang harus menggunakan masker dan berjarak sekitar 1 meter dengan yang lain, tapi karena ramai, saya ngeri juga.

Nah, di pasar swalayan mini dekat rumah, pelanggannya tidak begitu ramai. Namun demikian, tentu saja saya dan istri tetap berhati-hati dan secara maksimal berupaya mematuhi protokol kesehatan.

Begitu saya turun dari kendaraan setelah parkir di depan minimarket itu, saya sudah dihadang seorang perempuan kecil dengan penampilan yang kumal, menjajakan tisu.

Begitu mau masuk, ada lagi seorang perempuan kecil lainnya duduk begitu saja di lantai. Lalu, seorang pelanggan yang baru keluar memberikan selembar uang. Rupanya ia menjadi semacam peminta-minta.

Secara tak sengaja, saya melihat di pojok halaman depan berdiri seoarang laki-laki dewasa yang mengawasi kedua anak perempuan itu tadi. Dugaan saya, anak-anak ini "dikaryakan", atau lebih tepatnya dieksploitasi oleh lelaki dewasa itu.

Apa yang saya saksikan itu terbayang lagi begitu saya membaca kompas.id Senin pagi ini (2/8/2021). Sebuah judul "Pekerja Anak dalam Impitan Ekonomi dan Pandemi", menarik perhatian saya, dan saya baca sampai tuntas.

Kalau merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku di negara kita, pekerja anak diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Dalam hal ini, seorang anak dibolehkan bekerja maksimal 3 jam setiap hari, serta tidak boleh mengganggu waktu belajar.

Syarat lainnya, anak yang bekerja sudah berusia minimal 13 tahun, jenis pekerjaannya termasuk ringan, serta tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.

Namun, pada kenyataannya banyak terjadi pelanggaran di berbagai daerah di Indonesia. Di lapangan, gampang menemui anak-anak yang umurnya di bawah 13 tahun menjajakan dagangan, mengamen, atau mengemis.

Lalu, di media massa gampang pula ditemukan berita anak-anak yang jadi buruh dan jam kerjanya lebih dari 3 jam dalam satu hari.

Bagi yang ingin mengetahui data kuantitatif hasil penelitian Tim Litbang Kompas terkait fenomena pekerja anak di era pandemi, silakan mengklik di sini.

Intinya adalah, dengan adanya pandemi, malah berdampak negatif pada kondisi pekerja anak. Bolehlah disebut hal ini sebagai salah satu sisi kelam pandemi bagi masyarakat kelas bawah, di luar dampaknya secara kesehatan.

Pekerja anak meningkat jumlahnya, dan sebagian memang karena orang tuanya meminta untuk itu. Banyak pekerja anak yang tidak lagi bersekolah.

Bagi mereka yang bersekolah pun, karena lagi berlangsung sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ), membuat mereka menambah waktu untuk bekerja dengan tidak mengikuti PJJ.

Bayangkan, ketika anak masih dalam masa pertumbuhan dan menikmati keseruan bermain, tapi karena dipaksa keadaan, mereka kehilangan masa kanak-kanaknya yang seharusnya membahagiakan.

Saya teringat zaman saya kecil sekitar 40-an tahun lalu, saya pun ikut bekerja dengan menunggu warung milik orang tua. Tapi saya merasa bahagia karena bukan dipaksa.

Lagipula, saya bisa mengerjakan PR di warung, bahkan diam-diam makan kue yang dijual di warung tanpa dimarahi orang tua.

Yang lebih berat adalah pengalaman teman SMP saya yang berjualan koran. Ada juga yang menjajakan kue di pagi hari sebelum sekolah.

Ada lagi yang mencuci kendaraan umum di sore hari, yang menurut saya lebih menguras fisik. Tapi, begitulah cara agar teman ini dapat uang jajan dari upahnya mencuci itu. 

Teman saya yang lain, ada yang mencari makanan ternak. Tapi, ini tidak diupah karena membantu orang tuanya yang memelihara ayam petelur.

Seingat saya, teman-teman saya itu melakukannya dengan biasa-biasa saja, tidak mengganggu sekolahnya. 

Hanya saja, yang diungkap oleh kompas.id, sudah bisa disebut eksploitasi pekerja anak dan seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun