Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Faktor Usia dalam Penerimaan Siswa, Ada Kaitan dengan Virus Corona?

29 Juni 2020   07:10 Diperbarui: 29 Juni 2020   07:13 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. cnnindonesia.com

Ada kehebohan dalam seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk bisa menjadi siswa SMA atau SMK Negeri untuk tahun ajaran baru sekarang ini. Demikian pula untuk masuk SMP Negeri. Nilai yang bagus pada level pendidikan sebelumnya, tidak lagi dugunakan sebagai alat seleksi.

Kriteria utama yang digunakan adalah kesesuaian zona. Dalam hal ini, untuk DKI Jakarta yang dipakai adalah zonasi berbasis kelurahan. Artinya, bagi seseorang yang tinggal di sebuah kelurahan, maka dia bisa memilih sekolah-sekolah yang ada di kelurahan itu dan kelurahan tetangga.

Namun bila jumlah pelamar melebihi daya tampung suatu sekolah, bukan lagi pelamar yang nilainya lebih tinggi yang diterima, tapi mereka yang lebih tua usianya. Jadi, yang lebih muda harus ikhlas memberi tempat bagi yang lebih tua. 

Tak pelak lagi, kebijakan baru tersebut memunculkan polemik, khususnya di tengah orang tua yang punya anak yang sedang berjuang untuk mendapatkan kursi di sekolah negeri yang diinginkannya. Bahkan berbagai demonstasi pun digelar para ibu-ibu yang merasa dirugikan.

Argumen yang diajukan para pendemo itu cukup logis. Tengok saja seperti yang tercantum pada foto di atas. "Cari kerja dicari yang paling muda, tapi masuk sekolah dicari yang paling tua. Lucu...!!!" demikian bunyinya.

Ya, lucu atau tidak, tentu bisa diperdebatkan. Bagi pemerintah yang membuat kebijakan, justru dianggap lebih tepat, karena melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019, untuk setiap jenjang pendidikan disyaratkan usia minimal dan maksimal yang mesti dipenuhi calon peserta didik baru (CPDB).

Sebagai contoh, CPDB untuk SD berusia 7 hingga 12 tahun, dengan usia paling rendah 6 tahun per 1 Juli tahun berjalan (Kompas, 27/6/2020). Nah, dengan demikian tentu CPDB untuk SMP adalah usia 13 hingga 15 tahun, dengan usia paling rendah 12 tahun. 

Masalahnya bila pelamar demikian banyak, harapan bagi yang usianya baru 12 tahun, akan pupus untuk bersekolah di SMP Negeri, kalah sama temannya yang lebih tua. Begitu pula bagi yang masih berusia 15 tahun saat mendaftar PPDB tingkat SMA.

Padahal ibu-ibu rumah tangga sekarang berpikiran sangat maju, maksudnya ingin sekali anak-anaknya lebih cepat masuk sekolah. Banyak anak-anak yang masih berusia 5 tahun, katakanlah lewat beberapa bulan, sudah masuk SD.

Barangkali karena suksesnya program keluarga berencana (KB), rata-rata seorang ibu rumah tangga hanya punya 2 atau 3 anak saja. Sehingga semua perhatian tercurah bagi kesuksesan si anak dalam menempuh pendidikan. Ini dianggap bekal yang mutlak bagi kesuksesan si anak meniti kariernya kelak ketika sudah dewasa, setamat kuliah.

Jangan heran, bila yang lebih sibuk menyiapkan buku dan alat tulis setiap mau berangkat sekolah, bukan si anak, tapi ibunya. Berbagai pelajaran tambahan pun dilakoni, sehingga si anak yang usianya lebih muda itu biasanya juga lebih tinggi nilai rapornya di sekolah.

Akhirnya bila zaman dulu rata-rata seorang anak baru pada usia 24 atau 25 tahun menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan berburu lapangan pekerjaan, sekarang hal yang sama dilakukan oleh anak usia 21-22 tahun.

Makanya tak salah-salah amat kalimat yang tercantum pada poster demo di atas. Memang bagi sebuah perusahaan, bila mendapat pelamar pekerjaan yang berusia lebih muda, cenderung lebih disukai ketimbang pelamar yang lebih tua, dengan catatan nilainya sama saat diseleksi.

Dengan menerima yang lebih muda, perusahaan bisa menggunakan tenaganya lebih lama, sampai katakanlah memasuki usia pensiun yang sekarang ini di banyak perusahaan atau instansi pemerintah pada usia 56-58 tahun.

Jadi, tidak salah juga para orang tua yang ingin anak-anaknya dalam usia lebih muda sudah masuk sekolah, sepanjang tidak merampas hak anak untuk bermain. Prestasi sekolah si anak yang mendapat nilai lebih baik, kemungkinan tidak akan tercapai bila si anak merasa stres dipaksa orang tuanya belajar.

Tapi mendahulukan yang lebih tua, juga bisa dipahami karena daya tampung sekolah yang terbatas. Akan terjadi pemerataan di mana sekolah favorit akan dihuni siswa yang lebih tua (mungkin prestasi akademisnya tidak sebagus yang muda), sehingga ada kesempatan "kocok ulang" sekolah favorit. 

Kalau tidak begitu, akan ada sekolah favorit yang itu-itu saja. Bukan karena kehebatan guru-gurunya, namun karena sudah punya nama, sehingga setiap tahun hanya terbatas menampung siswa dengan nilai yang lebih tinggi saja.

Ngomomg-ngomong, bisik-bisik di kalangan guru sebetulnya dalam PPDB kali ini, faktor usia menjadi pilihan karena semua proses pembelajaran, termasuk ujian akhir sekolah, pada tahun ini semuanya memakai sistem online. Tentu ini sebagai dampak bencana virus corona sehingga harus ada pembatasan sosial yang tidak memungkinkan kegiatan sekolah secara tatap muka di dalam kelas.

Ada dugaan nilai masing-masing sekolah, tidak lagi sesuai standar dan karenanya tidak dapat diperbandingkan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang menggunakan nilai ujian nasional (UN). Apakah dugaan tersebut betul? Pemerintah perlu transparan dalam memberikan penjelasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun