Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tugas OJK Semakin Berat, Bagaimana Menyiasatinya?

3 Februari 2020   00:07 Diperbarui: 3 Februari 2020   06:23 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Otoritas Jasa Keuangan (OJK)(KONTAN/Baihaki)

Sungguh tidak nyaman kondisi saat ini bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Institusi yang berfungsi sebagai regulator dan sekaligus sebagai pengawas semua Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang beroperasi di negara kita ini, dituding tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik.

Penyebabnya apalagi kalau bukan mencuatnya kasus besar di beberapa perusahaan asuransi, seperti Jiwasraya dan Bumiputera. Bahkan juga diduga terjadi pula di Asabri dan Taspen.

Logikanya, bila OJK menjalankan fungsi pengawasan dengan baik tentu ketika kasus di beberapa perusahaan tersebut masih dalam skala kecil, dapat terdeteksi dan dicarikan solusi terbaiknya.

Saking kecewanya dengan OJK, sampai ada anggota DPR yang minta OJK dibubarkan saja. Padahal OJK sendiri relatif belum lama berdiri, yakni sejak akhir tahun 2012. 

Tapi kita kesampingkan dulu soal ide pembubaran OJK, karena yang lebih penting saat ini adalah masalah bagaimana upaya menjadikan OJK lebih berfungsi. Artinya kualitas pengawasannya harus ditingkatkan.

Soalnya salah satu karakteristik LJK adalah punya nasabah atau konsumen yang amat banyak, karena masyarakat diperkenankan untuk menyimpan uangnya di LJK.

Nah tentu saja isu perlindungan konsumen menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Jangan sampai ada LJK yang ditimpa kesulitan likuiditas yang berakibat tidak mampu mengembalikan uang nasabah.

Maka tak bisa tidak, kemampuan OJK dalam mengantisipasi bakal terjadi sesuatu yang tidak diharapkan sehingga masih memungkinkan untuk melakukan tindakan koreksi, perlu diperbaiki. Hal ini sangat tergantung pada kualitas pengawasan yang dilakukan OJK.

Dok. Merdeka.com
Dok. Merdeka.com
Untuk meningkatkan kualitas pengawasan, paling tidak harus dilihat dari dua hal, yakni dari sisi sistem pengawasan dan dari sisi sumber daya manusia yang menjadi auditor.

Secara sistem, OJK rutin menerima laporan dari semua LJK. Bahkan untuk LJK perbankan, laporannya banyak sekali, ada yang bersifat harian, mingguan, bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. 

Selain itu OJK juga melakukan audit secara langsung ke masing-masing LJK. Artinya secara sistem dapat dikatakan telah berjalan relatif baik.

Tinggal permasalahannya di sisi auditor, baik kuantitas maupun kualitas. Memang karena keterbatasan jumlah auditor, OJK dalam mengaudit terpaksa memprioritaskan bidang atau aktivitas tertentu.

Bayangkan bila sebuah LJK yang diaudit punya banyak kantor cabang, adakalanya OJK terpaksa hanya mengambil sangat sedikit cabang saja sebagai sampel.

Untuk menambah jumlah auditor, harusnya OJK tidak terkendala oleh masalah keuangan, mengingat semua LJK wajib menyetor iuran tahunan yang besarnya memakai rumus persentase tertentu dari jumlah aset masing-masing LJK.

Di samping soal kuantitas auditor, tak kalah penting adalah soal kualitas auditor. Barangkali pemahaman teorinya sudah terbilang bagus, mengingat banyak auditor OJK yang sudah dibekali pendidikan dan pelatihan yang memadai.

Namun karena mereka jarang yang punya pengalaman sebagai pelaku bisnis di suatu LJK, maka ada hal-hal yang tidak ada di teori, tapi ditemukan di lapangan.

Termasuk kepintaran oknum LJK dalam menyembunyikan sesuatu yang "busuk" yang malah bisa disulap terlihat "harum" karena praktik window dressing, relatif terlambat diketahui OJK.

Maka selain mengikuti berbagai pelatihan, OJK perlu menempuh jalan pintas, dengan "membeli jadi". Maksudnya mencari auditor yang sudah berpengalaman.

Auditor internal di LJK yang berkinerja baik, atau dari Kantor Akuntan Publik (KAP) yang berpengalaman mengaudit LJK, perlu kiranya direkrut. 

Atau bisa juga praktisi (bukan auditor) di LJK yang memahami seluk beluk bisnis, perlu memperkuat OJK. Bila satu tim merupakan gabungan yang terdiri dari auditor dan mereka yang berlatar belakang praktisi, akan terjadi kondisi yang saling melengkapi.

Sepertinya sekarang ini mayoritas auditor OJK adalah dari lulusan perguruan tinggi yang lolos seleksi, lalu meniti karir di OJK dari bawah. Sedangkan OJK sendiri bukan lembaga bisnis, sehingga stafnya otomatis juga tidak punya pengalaman bisnis secara langsung.

Hal lain perlu pula dilakukan adalah standarisasi audit antar berbagai jenis LJK. Saat ini standar audit untuk LJK perbankan relatif baik, namun untuk non-bank, seperti asuransi dan perusahaan sekuritas, masih banyak yang perlu diperbaiki.

Harus diingat, sekarang perbedaan antara LJK bank dan non-bank semakin kabur. Bank ikut menjual produk asuransi, dan perusahaan asuransi menjual produk investasi yang biasanya ada di bank. Istilahnya product bundling.

Berikutnya masih ada pekerjaan rumah lagi bagi OJK, bagaimana mengikuti dinamika bisnis yang menggunakan teknologi canggih yang sangat cepat berkembang.

Seperti diketahui, terhadap keberadaan perusahaan rintisan di bidang teknologi finansial (tekfin), OJK terkesan gagap, karena seolah-olah membiarkan jatuhnya banyak korban yang merasa diintimidasi oleh beberapa perusahaan tekfin.

Tentu para korban ini adalah para peminjam uang secara online yang tidak paham betapa beratnya beban bunga berbunga yang melilit mereka bila terlambat mencicil pengembalian pinjaman.

Kemudian cara penagihannya mempermalukan konsumen karena data tunggakan itu disebar ke banyak nomor kontak yang ada di hape si peminjam. Selain itu ada pula penagihan beraroma kekerasan.

Tak heran kalau tahun lalu OJK pernah didemo oleh para para korban tekfin yang meminta OJK dibubarkan saja karena tak mampu melindungi mereka.

Jadi sebelum anggota DPR bersuara keras menuntut pembubaran OJK, korban tekfin telah lebih dahulu melakukan hal yang sama.

Namun demikian tentu harus diakui ada juga tekfin yang telah mendapat izin dari OJK dan mampu beroperasi secara baik. Yang seperti ini malah membantu para nasabahnya. 

Maka kemampuan auditor OJK perlu pula dilengkapi dengan penguasaan teknologi informasi yang tinggi, termasuk bisa membedah apa yang ada dalam sistem sebuah aplikasi.

Kesimpulannya, harus diakui bahwa tugas OJK semakin berat. Jadi OJK tak perlu terlalu membela diri atau mencari alasan tentang kenapa terjadi kasus besar di beberapa perusahaan asuransi. Toh masyarakat tahu ada sejumlah kendala yang harus dihadapi OJK.

Tapi dengan semangat tinggi dari seluruh jajaran di OJK untuk memperbaiki diri, diyakini akan mampu mencegah terulangnya kasus besar yang menimpa LJK, dan sekaligus perlindungan konsumen dapat terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun