Maka bila terbukti OJK lalai, bukan OJK yang harus dibubarkan. Justru sebaiknya makin dipertegas wewenang dan tanggung jawabnya, antara lain dengan sistem reward dan punishment yang jelas dan dilaksanakan secara tegas.Â
Soalnya selama ini tidak terdengar berita adanya pejabat OJK yang menerima sanksi bila tidak mampu melakukan pengawasan, yang antara lain indikatornya adalah masih terjadinya LJK yang tertimpa kasus besar.
Pun kalau personil OJK dinilai tidak mampu dalam melakukan pengawasan, juga bukan pembubaran yang menjadi solusi. Memperbanyak pelatihan atau melakukan rekrutmen baru dengan sasaran para auditor berpengalaman, mungkin bisa menjadi jawaban.
Bayangkan, Kantor Akuntan Publik (KAP) saja sudah banyak yang dihukum, seperti yang menimpa KAP yang mengaudit Laporan Keuangan Garuda Indonesia tahun 2018.
Ketika itu Garuda Indonesia yang seharusnya merugi, bisa "disulap" jadi memperoleh laba. Untung hal ini ketahuan, sehingga laporan keuangannya harus dikoreksi dan KAP-nya mendapat sanksi.
Jadi, bila auditor KAP bisa terkena sanksi, kenapa auditor OJK tidak? Tentu bukan dalam kasus Garuda, karena Garuda bukan LJK dan karenanya tidak diawasi OJK.
Pertanyaannya, lembaga mana yang berwenang menjatuhkan sanksi bagi OJK, mengingat statusnya sebagai lembaga independen? Ini yang menjadi pekerjaan rumah buat DPR.
Yang jelas DPR memegang peranan kunci atas kelancaran operasional OJK, karena anggaran tahunan OJK memerlukan persetujuan DPR. Bila DPR tidak puas dengan kinerja OJK, bisa berbuntut terkendalanya pembahasan anggaran tahunan OJK.
Hanya saja bila KAP dibayar sesuai kontrak setelah negosiasi harga, iuran tahunan LJK sudah ditetapkan besarnya 0,045 persen dari total aset masing-masing LJK.
OJK juga mendapat penerimaan tambahan dari denda yang dijatuhkannya pada LJK yang terlambat menyampaikan laporan atau yang laporannya tidak akurat. Wajar juga jika OJK sering mendenda LJK, sesekali OJK-nya yang didenda bila melakukan kesalahan.