Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menakar Ketahanan Bank, Jangan Terlalu Percaya dengan "Stress Testing"

17 Juni 2019   22:10 Diperbarui: 18 Juni 2019   00:00 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. interest.co.nz

Namun dari hasil diskusi dengan beberapa praktisi di dua bank papan atas yang bertugas menyusun ST, entah modelling-nya yang keliru atau memang ada semacam imbauan tersamar dari atasannya agar banknya tampil "cantik", kalaupun kurs rupiah  berdarah-darah sampai Rp 17.500 per 1 dolar AS, hasil ST-nya tidak seburuk yang diduga. Memang laba bank akan menurun tajam, tapi banknya tetap mampu eksis. 

Kalau saja mayoritas bank papan atas, khususnya bank-bank yang tergolong BUKU IV (kriteria BUKU IV adalah bank yang memiliki modal inti minimal Rp 30 triliun) melaporkan ST-nya sebagai "too good to be true", ini menjadi sinyal yang perlu diwaspadai BI karena bisa berakibat pada kegagalan dalam mengidentifikasi kemungkinan munculnya risiko yang bersifat sistemik. Contoh bank BUKU IV adalah BRI, Mandiri, BCA, BNI, CIMB Niaga, dan Panin. 

Pada risiko sistemik, atas musibah yang menimpa  suatu bank, secara cepat akan menjalar ke bank lain, sehingga yang dihantamnya bukan bank yang menjadi asal musibah saja, tapi sistem perbankan secara keseluruhan. Risiko ini melekat pada bank-bank berskala besar di mana nasabahnya baik yang menyimpan dana maupun yang menjadi peminjam, amat banyak. Bank-bank besar tersebut juga saling bertransaski dengan bank lainnya, inilah yang menyebabkan penyakit suatu bank besar cepat menular ke bank lain. 

Ingat krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1998? Itulah contoh paling kelam bagaimana risiko sistemik memporakporandakan perekonomian kita. Ketika itu BI masih menyediakan bantuan likuiditas (BLBI) atas bank-bank yang terdampak agar daya tularnya tidak membesar. Tapi sekarang cara tersebut dinilai tidak sehat, malah memicu moral hazard dari para bankir yang ingin "merampok" banknya sendiri. 

Makanya, sesuai regulasi saat ini tidak ada lagi bail-out di mana bank-bank terdampak tidak diberi dana talangan oleh pemerintah untuk memulihkan kondisinya. Sekarang justru bila dari ST-nya ada bank yang diduga bakal bangkrut ketika terjadi krisis moneter, diwajibkan untuk melakukan bail-in, di mana pihak pemegang saham menyetor tambahan modal. 

Risiko sistemik, bagaimanapun caranya memang harus dicegah, karena kalau dibiarkan pada gilirannya akan menggoyahkan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Artinya dari awalnya hanya satu bank yang tidak sehat  pada akhirnya akan berdampak pada sistem perbankan secara keseluruhan. Reputasi perbankan jadi hancur, kepercayaan masyarakat hilang, bahkan juga kepercayaan dari dunia internasional.

BI Jangan Kecolongan

Bagaimana cara mencegah risiko sistemik? Setiap bank secara individu selalu diawasi secara ketat oleh OJK. Namun secara keseluruhan, termasuk keterkaitan bank dengan korporasi dan rumah tangga, dipantau pula terus menerus oleh BI demi terpeliharanya SSK. Jelaslah, kuncinya ada pada kualitas pengawasan.

Agar BI tidak kecolongan, sebaiknya BI (tentu juga OJK) tidak terlalu percaya dengan ST yang dilaporkan masing-masing bank. Soalnya, ST yang disusun bank tentu saja dimulai dengan dasar kondisi kinerja saat ini. Itulah yang diproyeksikan akan seperti apa nantinya jika terjadi skenario tertentu. 

Masalahnya, justru "rapor" bank saat ini perlu dikritisi, sekalipun laporan keuangannya diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang termasuk kelas atas karena berafiliasi dengan  KAP big four secara internasional. Baru-baru ini terkuak kasus di Garuda Indonesia yang pada laporan keuangannya tahun 2018 setelah diaudit tercatat memperoleh laba, tapi dua orang komisarisnya tidak mau tanda tangan karena menilai Garuda seharusnya masih merugi.

Sebelumnya ada seorang akuntan senior  juga sudah terkena sanksi karena kesalahannya dalam mengaudit SNP Finance. Sang akuntan menilai kondisi keuangan SNP Finance baik-baik saja sehingga beberapa bank berani mengucurkan kredit ke perusahaan yang masih bagian dari jaringan toko Columbia yang menyediakan pembelian barang secara kredit. Belakangan SNP Finance mengalami kebangkrutan dan bank-bank yang telah memberikan kredit pun menderita kerugian besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun