Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak "E-Commerce" Bukan untuk Kejar Target Penerimaan Negara

16 Januari 2019   09:05 Diperbarui: 16 Januari 2019   09:16 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kementerian Keuangan baru-baru ini telah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Ketentuan ini berlaku mulai 1 April 2019.

Namun belum lagi pajak e-commerce (selanjutnya ditulis PEC) tersebut berlaku, sudah banyak mendapat protes dari beragai pihak terkait, khususnya pedagang kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini berdagang di marketplace e-commerce.

Seperti yang diberitakan Kompas.com (15/1), aturan itu dinilai dibuat tanpa studi yang memadai, tidak melewati uji publik dan minim sosialisasi  serta tidak ada kesepakatan dengan pelaku usaha. Penilaian ini bersumber dari Asosiasi e- commerce Indonesia (idEA).

Menurut Ignatius Untung yang menjadi Ketua Umum idEA, banyak di antara pengusaha mikro yang masih pada tahap coba-coba, belum tentu mereka bertahan dalam beberapa bulan ke depan.

Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa ketentuan pajak bagi UMKM sebetulnya bukan peraturan baru, yang baru diatur hanya tatalaksananya. Dalam PEC diatur bahwa terhadap pedagang UMKM yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar setahun dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% dari omzet. Sedangkan bagi yang omzetnya di atas Rp 4,8 miliar setahun, terkena pajak normal yang dengan tarif progresif, dari 5% sampai 30%.

Maksud Ibu Menteri tentu bahwa kemudahan bagi UMKM dengan pajak yang kecil, adalah hal yang berlaku umum, agar memudahkan pelaku UMKM secara administrasi dan tidak memberatkan secara finansial.

Hanya ketentuan umum itu belum diatur bagaimana teknis pelaksanaannya pada transaksi perdagangan elektronik. Itulah yang akhirnya membuahkan PMK nomor 210 di atas, yang antara lain mewajibkan penyedia platform untuk memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) serta dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

Penyedia platform juga wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPh terkait penyediaan layanan kepada pedagang yang menggunakan platform tersebut. Untuk itu pedagang yang menggunakan platform harus memberitahukan NPWP-nya kepada penyedia platform, dan membayar pajak sesuai ketentuan, yakni 0,5 % dari omzet itu tadi.

Perkembangan terbaru, pihak kementerian bisa memahami bahwa sebagian masyarakat masih begitu sensitif mendengar kebijakan yang terkait dengan pajak, makanya PEC tidak akan dipungut secara sembarangan, namun dengan prinsip hati-hati.

Kemudian pihak idEA sudah pula bertemu secara diam-diam dengan jajaran Kementerian Keuangan dan menghasilkan sejumlah kesepakatan sebagai jalan tengah. Kesepakatan itu antara lain pedagang tidak diwajibkan memiliki NPWP saat mendaftar di platform yang dipilihnya. Bagi yang belum memiliki NPWP cukup mendaftarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kepada penyedia platform.

Kementerian Keuangan juga sepakat bahwa PEC bukanlah untuk mengejar target penerimaan negara, namun dalam rangka menggali informasi untuk membangun database e-commerce, agar bisa dianalisis lebih lanjut, bagaimana perkembangannya dari waktu ke waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun