Satu lagi yang membuat Batam bernuansa internasional adalah banyaknya gerai money changer. Bahkan di toko-toko yang berukuran besar, di dalam toko tersebut ada pojokan buat money changer.Â
Batam bagaimanapun juga sudah terlanjur membesar, sehingga jangan bermimpi menjadikannya kembali jadi kawasan sunyi desa nelayan seperti sebelum tahun 1970-an.
Sekarang kabarnya banyak pabrik yang bangkrut di Batam. Akibatnya terasa di beberapa pemukiman bagi para pekerja yang sepi dan pasar atau warung-warung di sekitarnya yang juga sepi.
Terhadap hal ini perlu dicarikan solusi agar perusahaan yang bangkrut bisa bangkit lagi. Beberapa hotel terlihat ditutup karena merugi, namun beberapa proyek baru terlihat lagi dibangun, termasuk sejumlah gedung pencakar langit yang disebut-sebut punya perusahaan yang ada hubungan dengan anak dari mantan Presiden Habibie.
Banyak warga Batam yang mengenang ketika dulu pihak Otorita sebagai "penguasa tunggal", kualitas pembangunan di Batam lebih oke, antara lain terlihat dari jalan raya yang lebih kokoh serta penghijauan di pinggir jalan juga lebih indah.
Setelah menjadi kota industri, Batam juga berkembang jadi destinasi wisata, khususnya wisata belanja. Bagaimana agar kegiatan bisnis tidak hanya terpusat di kawasan Nagoya tapi menyebar ke bagian lain di pulau yang sudah menyatu dengan beberapa pulau di sekitarnya sehingga lebih luas dari Singapura itu, menjadi PR besar pula bagi pihak terkait di sana.
(Catatan perjalanan di Batam, 28-30 Desember 2018)