Mohon tunggu...
Good Words
Good Words Mohon Tunggu... Penulis - Put Right Man on the Right Place

Pemerhati Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Langkah Proteksi Melindungi Brand dari Badai Cancel Culture

10 September 2021   09:50 Diperbarui: 10 September 2021   13:31 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://commetric.com/

Tampaknya memang tidak ada satupun yang kebal dari cancel culture, jika netizen sudah murka sepertinya semut pun tak akan berani menampakkan batang hidungnya. 

Booming media sosial telah memberikan kekuatan kepada massa untuk berbagi pendapat mereka tentang apapun termasuk brand dan mempengaruhi pendapat orang lain dengan sangat kuat. Tetapi sekitar 73% dari konsumen dalam sebuah survei mengatakan mereka cenderung tidak akan melakukan cancel culture pada sebuah brand jika ada alasan-alasan yang sangat krusial.

Artinya, jika brand tersebut masuk dalam katagori kebutuhan pokok dan tak tersedia substitusi yang lain, maka besar kemungkinan cancel culture hanya sebuah gertakan saja yang pada akhirnya mereka harus membeli barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yap, benar, ternyata masih ada langkah antisipatif brand agar kebal dari cancel culture yaitu brand yang menguasai hajat hidup orang banyak,

Selama beberapa tahun terakhir, konsep cancel culture memang ditakuti oleh sebagai public figure atau siapapun yang berhadapan dengan publik online. 

Ketika satu kesalahan saja yang dianggap tidak bisa ditolerir, maka selebriti atau merek tertentu akan berhadapan dengan badai api media sosial yang dapat dengan cepat merusak opini publik tentang orang atau entitas tersebut. 

Bahkan merek kesayangan yang sudah dipakai selama puluhan tahun pun bisa ikut tergulung badai cancel culture jika terdapat satu hal yang memicu kemarahan netizen.


Menariknya dalam sebuah penelitian baru yang dilakukan oleh Porter Novelli bertujuan untuk membantu kita memahami mekanisme cancel culture, terdapat dua masalah utama yang menjadi fokus penelitian tersebut:

  • Mengapa orang mau melakukan cancel culture pada sebuah brand yang sudah sangat terkenal dan apa yang mereka harapkan dan dapatkan dari aksi boikot tersebut?
  • Berapa lama durasi cancel culture berlangsung dan apa yang diperlukan untuk mendapatkan kembali simpati publik dari opini media sosial yang sudah terlanjut terbentuk?

Proliferasi media sosial telah memberikan kekuatan kepada massa dan penguatan kepada individu. Konsumen sekarang menjadi sangat berani untuk berbagi pendapat dan keraguan mereka tidak hanya dengan jaringan mereka sendiri. 

Faktanya, hampir 72 persen dari mereka yang disurvei merasa lebih berdaya daripada sebelumnya untuk membagikan pemikiran atau pendapat mereka tentang perusahaan.

Studi Porter Novelli menyimpulkan bahwa tidak ada merek yang terlewatkan dari cancel culture, bahkan merek yang memiliki penggemar setia. Sebanyak 66 persen dari mereka yang disurvei mengatakan meskipun mereka menyukai produk atau layanan perusahaan, mereka tetap akan memboikot perusahaan itu jika melakukan kesalahan atau menyinggung.

Tahun 2020 adalah tahun terjadinya kerusuhan sosial dan rasial sementara banyak orang di seluruh dunia baru mulai merasakan efek lockdown karena COVID. 

Pemicunya adalah peristiwa pembunuhan George Floyd oleh polisi Minneapolis adalah pukulan terakhir yang menggembleng kembali sebagian besar publik AS di dukungan gerakan Black Lives Matter. 

Kemudian brand-brans yang dengan tergesa-gesa mengeluarkan pernyataan mencela rasisme, tanpa mencerminkan etos kerja dan etika dalam organisasi mereka, masih merasakan konsekuensi dari kesalahan langkah itu dan reputasi seketika hancur.

Namun, dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa ternyata ada kesempatan kedua bagi yang mengalami cancel culture. Hasil analisis riset tersebut merumuskan ada beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk melindungi dari dampak cancel culture.

Mayoritas konsumen atau sekita 88 persen lebih bersedia untuk memaafkan perusahaan karena membuat kesalahan jika itu menunjukkan upaya yang tulus untuk berubah dan 84 persen mengatakan mereka lebih mungkin memaafkan kesalahan langkah jika perusahaan itu pertama kali melakukan kesalahan.

Lebih jauh lagi, perusahaan dengan tujuan yang otentik memiliki tujuan dan nilai yang lebih baik dan memperbaiki visi misi brand jangka panjang akan mendapatkan kembali simpati, karena hampir tiga perempat atau 73 persen konsumen mengatakan bahwa mereka cenderung tidak memboikot perusahaan jika didorong oleh tujuan.

Menurut penelitian tersebut, lebih dari sepertiga atau 36 persen konsumen  mengatakan mereka telah memboikot sebuah merek dalam 12 bulan terakhir; di antara mereka, hampir seperempat atau sekitar 23 persen telah memboikot merek itu secara permanen. 

Dan tampaknya memang tidak ada merek yang aman dari budaya pembatalan, dua pertiga 66 persen mengatakan mereka akan memboikot merek yang mereka anggap telah melakukan kesalahan, bahkan sekalipun mereka menyukai produk dan layanan perusahaan itu. 

Namun, 73 persen responden mengatakan mereka cenderung tidak memboikot merek yang digerakkan oleh tujuan dan alasan krusial tertentu.

Porter Novelli memeriksa empat kasus merek kuat seperti Goya , L'Oral , Oreo dan Wells Fargo yang pernah diboikot secara online pada tahun 2020, pertanyaan bagaimana mereka menanggapi reaksi tersebut dan apakah reputasi mereka telah pulih. 

Sementara L'Oral dan Oreo telah bernasib cukup baik raksasa kosmetik itu tampaknya benar-benar belajar dari kesalahannya dan mengambil langkah-langkah signifikan untuk memperbaikinya.

Sementara Goya dan Wells Fargo masih merasakan serangan balik, berkat sikap mereka yang tidak bersemangat untuk mengatasi pelanggaran dan memperbaiki kesalahan tersebut.

Cancel culture mendapatkan dukungan konsumen jika memang benar-benar terbukti melakukan hal-hal yang merugikan masyarakat secara luas.

Dan untuk menghadapi kemungkinan badai cancel culture kekuatan merek harus disiapkan melalui penguatan internal perusahaan yang memiliki visi dan misi yang jelas dan tetap ingin membangun bisnis yang berkelanjutan.

Namun, cancel culture bukanlah sebuah finalitas, masih ada langkah antisipatif dan kesempatan kedua jika ingin memperbaiki kesalahan. 

Di mata banyak konsumen, pembatalan adalah cara untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka kepada perusahaan sehingga perubahan dapat dilakukan. 

Ini adalah cara bagi individu untuk menggunakan suara online kolektif mereka dan kekuatan boikot untuk mempengaruhi kepentingan umum yang luas.

Sumber Referensi: hbr, forbes, fast company dan artikel lain yang relevan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun