Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

"Bule" dan Persepsi (Sempit) Kita tentang Mereka

5 Desember 2017   06:59 Diperbarui: 19 Januari 2021   08:52 8013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Youtube Boldly

"What did you ask to Mr. J?" Saya menatap dua pemuda usia awal 20-an itu penuh selidik.

Mereka saling pandang.

"Ih, miss how do you know?" kata salah satunya.

Saya cemberut.

"Miss... we were only joking miss..." mereka berdua cengar-cengir.

Kedua anak tanggung itu saya interogasi, sebab rekan kerja saya mengadu. Suatu hari, rekan kerja saya mengajar kelas mereka. Rekan saya yang seorang ekspatriat itu ditanyai pertanyaan begini,

"Mr, do you get drunk everyday?"

J bukan satu-satunya yang pernah mereka "tembak" dengan pertanyaan tanpa dosa. Native speaker yang lain ditanyai pendapatnya soal LGBT, karena dua murid saya yang "manis" itu merasa "kalo bule pasti kayak gitu lah".

Akhirnya, saya habiskan sekitar 15 menit untuk membahas jenis-jenis pertanyaan yang pantas dan tidak pantas ditanyakan pada orang lain, bule maupun nonbule.

Entah di mana sekarang M dan K, dua murid saya yang nakalnya suka pengen ngejitak itu. Kalaupun mereka baca status ini, pastilah langsung cengar-cengir juga. Dasar.

Tahun 2007, saya pernah mengundang Adrian, rekan saya dari Inggris untuk menjadi juri di acara perlombaan Bahasa Inggris antar SMP/MTs di kota saya. Ia menjadi juri lomba speech dan storytelling. Penyelenggara perlombaan sendiri adalah Departemen Agama, sehingga wajar yang menjadi peserta lebih banyak dari MTs ketimbang SMP.

Saat itu, saya ingat betul. Ada seorang anak lelaki yang berpidato soal jihad. Memang tema pidatonya adalah "The Role of Youth in Globalization" begitu deh. Si anak lelaki berpidato berapi-api mengenai kewajiban berjihad di jalan Allah, menumpas kezoliman dan bangsa kafir. Lucunya, setiap kali anak ini menyebut "kafir", kedua matanya akan melirik Adrian. Untung saja ia tidak menunjuk, jika iya, pasti akan saya tegur (saat itu saya menjadi MC). Agak grogi juga kondisi saat itu. Saya dan Evan, rekan ngemsi, sampai sering berpandang-pandangan. Bingung bersikap. Akhirnya kami mendiamkan, sebab takutnya jika ditegur, bisa jadi si anak akan berkilah, lirikannya ke dewan juri adalah kebetulan belaka. Selesai ia berpidato, diiringi tepuk tangan penonton, ia disambut gurunya dengan dua jempol tangan. Ya salaaaaam ...

Saat istirahat, Adrian berkomentar,

"I don't know what his problem is." Sambil menunjuk nama si anak dalam daftar peserta.

"Just ignore him," jawab saya, ikutan sebal.

Adrian tertawa. Setelahnya kami malah terlibat diskusi cukup menyenangkan mengenai agama dan kepercayaan, sambil menyantap konsumsi yang disediakan oleh panitia.

Saat mengantri wudhu, saya dicolek oleh seorang ibu panitia dari Depag.

"Neng, eta bule meni kersa nya emam sareng timbel," katanya

(Neng, itu bulenya kok mau ya makan sama timbel)

Saya tertawa dan bilang, Adrian sudah lama di Indonesia. Istrinya pun orang Indonesia. Tapi saya malas untuk menjelaskan bahwa "fenomena bule makan timbel itu biasa aja keuleus", bukan sesuatu yang uwow.

Seorang sahabat yang bekerja sebagai engineer, mengisahkan bahwa pada suatu hari datang serombongan orang Jerman (laki-laki dan perempuan) ke kantor tempat ia bekerja sama membuat mesin. Kafilah Jerman ini kemudian melakukan kunjungan ke bengkel tempat mesin dirakit. Seorang pegawai bengkel nyeletuk,

"Asa ningali film BF euy!"

(Kok kaya liat film BF/bokep ya!)

Sahabat saya, sampai bingung mengapa komentar tersebut keluar. Padahal rombongan Jerman itu satupun tak ada yang berpakaian terbuka.

Ealah, rupanya referensi bule yang mereka tahu memang hanya dari tontonan mesum. Jadi begitu melihat "contoh" di depan mata, ya begitu itu.

Demikianlah.

Sebagian masyarakat kita memang masih sangat awam dengan orang asing, terutama ras kaukasian alias bule. Parahnya, terkadang mereka tak bisa membedakan mana realitas dan mana film Hollywood. Sehingga anggapan, "bule-pasti-suka-mabok-dan-hidupnya-bebas" adalah anggapan yang biasa.

Padahal bule pun sama dengan kita. Ada yang saleh, ada yang salah. Ada yang gaul, ada yang senang menyepi. Warna kulit dan bahasanya saja yang sering membuat orang gagal fokus.

Contoh paling ekstrem yang pernah saya temui adalah lewat postingan salah satu teman di FB. Ceritanya, teman ini memang bersuamikan seorang ekspatriat. Suatu hari, mereka duduk di sebuah tenda Soto di sebuah kota metropolitan. Di meja yang sama, duduk pula sekitar 10 orang lelaki, yang dari atribut dan pakaian yang mereka kenakan, jelas-jelas beragama tertentu. Dan setahu saya, si teman ini juga beragama yang sama.

Salah seorang lelaki itu tiba-tiba berujar,

"Enggak ada harganya cewek yang doyan kon**l bule sih..."

"Nyari yang gede ntar jadi kayu bakar di neraka," kata yang lainnya.

Mereka semua tertawa. Andaikan tidak ditahan oleh suaminya yang bule itu, mungkin teman saya ini akan langsung menumpahkan kuah soto yang panas ke wajah mereka.

"Orang mana nih bule ... klo dari negara musuh, kita bisa bunuh di tempat," kata salah satu dari mereka lagi di sela-sela makannya.

Bisa saya bayangkan, betapa mendidihnya amarah teman yang menuliskan pengalamannya ini. Apa yang ada dalam pikiran mereka sehingga bisa tercetus perkataan tidak beradab macam begitu. Hanya ada satu dugaan saya; mereka mainnya kurang jauh.

Akhir ceritanya bagaimana?

Di akhir cerita si Mister bule yang mereka rasani itu malah membayari semua tagihan soto mereka.

Duuuh ... kalau saya jadi mereka (amit-amit), sudah migrasi deh ke bulan, tetanggaan sama Nini Anteh.

Apakah ini semacam penyakit sosial atau murni gegar budaya?

Kalau soal sentimen keagamaan sih sebetulnya bukan terhadap orang bule saja sih. Sebagian masyarakat kita akhir-akhir ini sering sekali ekstrem soal perbedaan keyakinan. Bule nonbule, asal beda, hantam.

Jadi, ini lebih ke cultural shock/gegar budaya saja. Pengetahuan yang pendek mengenai orang asing dan budaya asing menjadikan orang cepat mengambil kesimpulan dari yang ia tahu atau yang ia dengar.

Saya pun sempat berpikir, apakah karena saking lamanya kita dijajah oleh ras Kaukasia, sehingga sebagian dari kita menjadi blancophobia (fobia terhadap ras kulit putih). Sebab saya tahu bahwa perempuan-perempuan Indonesia yang dulu sempat dikawini secara resmi atau tidak, dijadikan "nyai-nyai" oleh Orang Belanda pun selalu dianggap "hina" dalam tatanan masyarakat kita.

Contoh-contoh kisah yang saya ceritakan di atas memang mengandung implikasi yang berbeza. Kedua murid saya yang super duper iseng itu mungkin hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu mereka dengan cara yang salah.

Si anak lelaki yang berpidato sambal mengirimkan sinyal negatif pada Adrian juga mungkin hanya korban dari pendidikan yang kurang tepat. Makna jihad yang dilakukan dengan cara berperang adalah untuk menumpas orang-orang kafir. Orang-orang kafir diartikan adalah di antaranya bule. Bule = orang kafir.

Si orang bengkel berarti suka nonton film porno. (apa lagi, coba?)

Sementara pada kisah terakhir, yang saya cermati, selain dari wawasan si rombongan yang kurang luas, juga nampak ada sentimen keagamaan dan kecemburuan sosial. Ayolah, akui saja. Ada berapa banyak orang di Indonesia ini yang selalu menyangka bule itu pasti banyak uang?

Teman-teman saya yang ekspatriat sudah sering menceritakan pelbagai kisah tentang bagaimana mereka harus berhadapan dengan asumsi yang salah dari masyarakat kita.

Mereka sering berpura-pura tidak bisa berbicara Bahasa Indonesia sedikit pun ketika ditilang (sebab mereka sering dimintai uang dalam jumlah fantastis). Atau saat mengurus surat-surat izin tinggal dan sebagainya. Sebab selalu ada oknum yang memanfaatkan. Dengan alasan, "Ah bule ini! Pasti banyak duitnya!"

Yuk ah, banyakin piknik.

catatan:

*terima kasih banyak untuk teman-teman yang sudah mau kisahnya saya comot*.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun