Ada banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan terkait produksi dan industri gula dalam negeri. Berbagai tugas yang menumpuk itu pun menjadi catatan para legislator kita di kompleks parlemen DPR, Senayan.
Kenyataan itu dilihat para anggota parlemen kita ketika mereka melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah. Yang mereka saksikan adalah pabrik-pabri gula berusia tua, termasuk fasilitas permesinan yang tak kalah uzurnya.Â
Ironisnya lagi, anggota parlemen kita melihat bahwa mayoritas pabrik gula yang tua itu, adalah milik negara. Mereka adalah pabrik pelat merah, atau berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Â
Akibat dari pabrik gula berusia sepuh itu adalah, produksi mereka jadi tidak optimal dan tidak efisien. Tak heran bila harga jual gula lokal lebih mahal ketimbang harga jual gula impor.Â
Satu-satunya opsi agar pabrik gula pelat merah itu bisa kembali beroperasi dengan efektif dan efisien, maka pabrik itu harus dibongkar dan dilengkapi dengan mesin yang lebih modern. Seolah tidak ada lagi opsi untuk menyelamatkan pabrik yang tersisa.Â
Selain tidak merawat pabrik gulanya, catatan lain terkait industri gula dalam negeri adalah ketidakmampuan pemerintah menjaga stabilitas produksi tebu para petani. Karena banyak lahan perkebunan tebu, kini mengalami alih fungsi. Jadi lahan pemukiman, niaga, atau perindustrian. Otonomi daerah makin memperparah fenomena alih fungsi lahan ini.Â
Perbaikan menyeluruh di industri gula adalah harga mati. Karena produksi gula dalam negeri, bisa turut andil membantu keuangan negara.Â
Indonesia disebut sebagai importir gula terbesar di dunia. Berdasarkan data lembaga penyedia data Statista, pada 2017/2018, Indonesia mengimpor gula sejumlah 4,45 metrik ton. Volume impor ini turun setelah sempat menyentuh angka 4,6 juta ton pada 2016, melonjak dari tahun sebelumnya sebesar 3,4 juta ton.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyebutkan nilai impor tertinggi pada 2016, yakni mencapai US$ 2,09 miliar, melonjak dari 2015 sebesar US$ 1,25 miliar. Di 2017 dan 2018, nilai impor sedikit menyusut menjadi US$ 2,07 miliar dan US$ 1,79 miliar.
Memperbaiki produksi gula dalam negeri, sama saja dengan menambal lubang kebutuhan gula yang selama ini dipenuhi lewat impor. Artinya, makin besar produksi, makin sedikit kita melakukan importasi. Bayangkan, berapa banyak devisa yang bisa dihemat bila kita mampu memproduksi gula kita sendiri.