Mohon tunggu...
irfan busrah
irfan busrah Mohon Tunggu... -

Sebaik-baik manusia adalah yang berguna buat orang lain. dan sebaik-baik informasi adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

The Snow (di Balik Keheningan Salju); Konflik Ideologi dari Turki ke Indonesia

26 April 2011   11:54 Diperbarui: 21 April 2017   12:00 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Katakanlah Tuhan Maha Besar!”//”Duduklah nak, Aku memperingatkanmu, negara kita akan menangkap kalian semua dan menggantung kalian semua!”.// “Katakanlah Tuhan Maha Besar!”// Tenanglah Anakku duduklah sejenak diamlah.pikirkanlah sekali lagi, jangan kau tarik pelatuk Pistolmu. Jangan (Bunyi Tembakan. Bunyi kursi terdorong), jangan anakku / (dua kali tembakan lagi. Hening. Erangan.Satu kali tembakan lagi.Hening). Direktur Institut pendidikan yang melarang pemakaian Jilbab di sekolahnya itupun tewas ditempat.

The Snow, dibalik keheningan Salju.Sebuah Novel bergenre Politik yang memuat penggalan tragedi diatas pada saat terbunuhnya seorang tokoh sekuler ditangan pemuda yang berpaham radikal. Novel ini berlatar belakang Turki Modern tepatnya di Kars sebuah wilayah miskin & terpencil Turki. Kars dikisahkan merepresentasikan wajah turki yang direcoki oleh pertentangan timur dan barat. Khususnya Islam dan sekularisme. Tokoh protagonisnya bernama Ka, seorang sastrawan yang menyamar jadi wartawan untuk meliput kasus bunuh diri remaja muslimah di Kars. Di penghujung cerita Ka tewas akibatdilindas pertikaian antara kelompok radikal dengan kaum Attarturkisme yang didukung pihak militer. Orhan Pamuk sang penulis, peraih nobel sastra 2006 sukses mengurai ke wujud cerita gesekan antar ideologi dan komunal yang terjadi di negeriitu. Pamuk secara langsung membeberkan bahwa kekerasan atas nama ideologi dan kelompok pecah oleh kecurigaan besar oleh masing-masing pihak. Kecurigaan yang mengancam eksistensi sehingga korban pun harus berjatuhan.

Telah diketahui pula turki adalah negara bermayoritas muslim terbesar di eropa. Bahkan sebelum angin kebebasan menyapu negara-negara sosialis-komunis . Turki satu-satunya negara yang umat muslimnya terbanyak. atmosfer sosial politik disana tak terlepas dari bentangan geografis wilayahnya yang terhimpit oleh ujung benua asia dan eropa.Sewaktu masih bernama konstantinopel turki menjadi pusat pemerintahan kekhalifhaan islam sampai tiba masa munculnya sosok Mustapha kemal Pasha yang merekonstruksi pondasi dasar kekuasaan negara tersebut. Memandang wilayahnya yang berangkai dengan benua eropa, bukan keajaiban turki bernasib seperti sekarang yang kehilangan ciri khasnya, sebab tak kuasa membendung arus besar modernisme yang meluncur dari penjuru eropa. Modernisme ini yang memendam bara yang meletup-letup sampai detik ini. Sebagian masyarakatnya menganggap turki tercerabut dari akar budayanya, khususnya budaya Islam,sebagian juga meyakini turki tak akan semegah sekarangtanpa riasan westernisasi dan ditepikannya Islam dari panggung sosial kemasyarakatan. Seperti yang digambarkan Orhan Pamuk dalam novel ini. Pertikaian pecah dengan polatak simetris sebab miiter sebagai penopang kekuasaan juga terjun memihak salah satu pihak. belum lagi reda. Kaum kurdi dinegara itu ikut pula menambah kalut situasi dengan upaya makarnya.

Membaca novel ini saya mencoba mengurai simpul problem radikalisme di tanah Air yang sedikit banyaknya punya gejala kemiripan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini. Apalagi Turki dan Indonesia bermayoritas muslim. Berangkat dari peristiwa Bom buku yang coba ditujukan pada seorang Ulil abshar Abdala yang notabene pentolan Jaringan Islam Liberal. Ulil selama ini dianggap menodai kesucian islam dengan paham sekularismenya. Masih tertanam mungkin di benak kita beberapa tahun silam dimana Ulil sempat dihalalkan darahnya oleh segelintir Ulama gara-gara tulisannya yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW di koran Kompas. Banyak umat Islam khawatir dengan sepak terjang Ulil dkk yang mencoba mereduksi peran agama dalam kehidupan kebangsaan. Puncaknya ketika sebuah buku yang dikirik kepadanya yang ternyata berhulu ledak yang beruntung tak sampai mencederainya.

Disini mampu dibaca bahwa pelakunya mungkin orang yang paranoid dengan JIL dan koleganya. Reaksi yang tak pantas untuk dibenarkan. Samadengan upaya-upaya Kelompok Islam liberal yang paranoid dengan isu-isu negara islam di indonesia yang juga tak dapat dibenarkan. Situasi seperti inilah yang terjadi di Turki yang coba diceritakan oleh Pamuk dalam The Snow-nya. Masing-masing pihak merasa terancam dan berupaya menghilangkan identitas kelompok serta ideologi yang lain. Yang menarik sekaligus paradoks adalah menyaksikan liberalisme dalam tataran praktis yang terbukti diskriminatif terhadap keberadaan kelompok lain. Padahal secara ideologis paham ini mengusung tema besar kebebasan individu dan dihormatinya hak & kewajiban masing-masing. Bukan hanya dalam medium sosial politik yang menyimpang. Bidang ekonomi pun liberalisme menemukan kebuntuan. Jurang kesejahteraan serta kemiskinan masih menganga lebar. Tak heran jika ada sebagian elemen masyarakat yang menempuh jalur ekstrim seperti ungkapan Para pakar sosial yang semua sepakat bahwa radikalisme bisa diredam jika pemenuhan ekonomi masyarakat tercukupi.

Friksi yang terjadi di Indonesia disyukuri tidak setajam yang terjadi di Turki, sebab negara masih cakap dalam mencari posisi yang nyaman dalam merangkul tiap elemen bangsa. Namun pemerintah sebagai pengambil kebijakanbelum berani mengambil resiko penting yang berefek pada perbaikan kualitas kenegaraan. Ekonomi yang cenderung tak stabil serta kemiskinan yang masih merisaukan adalah PR besar buat penguasa di negeri ini. Balik lagi ke teori pakar sosial bahwa kriminalitas, radikalisme, atau tindakan-tindakan ekstrim lainnya bersumber dari kemiskinan, kesenjangan sosial serta termarginalkannya segelintir rakyat dari haknya. Dari sini, kita mungkin bisa belajar dari Turki yang secara perlahan-lahan mulai menemukan frekuensi stabilitas negaranya sehingga sekarang isu-isu konflik Ideologis tak lagi ramai menyeruak dan kehidupan ekonominya kini terbesar keenam di bawah Uni Eropa. Pemerintahan dibawah kendali Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan terbilang sukses mengayomi seluruh kepentingan kelompok-kelompok yang selama ini bertikai meskipun Ia sendiri berasal dari Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai Islam di Turki). Turki pula dengan leluasa memainkan peran politik-Militernya sebagai negara anggota NATO.

Alangkah bijak jika kehidupan bertanah air kita tidak lagi diwarnai dengan tindakan saling mencederai antar anak bangsa, upaya diskriminatif, saling menjatuhkan dan penghapusan peran bernegara. Inilah dinding kokoh yang menghalangi kemajuan sebuah bangsa yang mesti dirobohkan.memang waktu menentukan perannya tapi ongkos social sekecil apapun dalam kacamata kemanusiaan justru tak bernilai harganya lalu haruskah darah tumpah antar sesama anak-anak bumi pertiwi? Seperti tokoh utama the Snow, Ka yang melayang nyawanya. Menguap bersama debu sejarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun