Dor....dor....dor.... Beberapa kali suara letusan senapan, suasana berubah tegang mencekam. Barisan kocar kacir, tunggang langgang. Ada pula yang bergelimpangan di jalan. Entah terkapar mati, entah bertiarap.
Lam pun dilanda ketakutan yang tak bisa dikendalikan. Pucat pasi wajahnya. Gemetaran tubuh kecilnya tak mampu dihentikan. Hingga terduduk lesu ia disamping bungkusan kardus sambil memangku 'ketthe' (periuk tanah liat khas Bawean berisi pindang asin) pemberian neneknya.
Perlahan ia beringsut, menyembunyikan badan ke balik pintu gerbang rumah besar sambil menggeret kardus dan ketthe. Tak ada seorang pun keluar dari rumah itu. Sepi, seperti tak berpenghuni.
Dalam kebingungan Lam bergumam. Sesungguhnya petistiwa apakah ini gerangan?Keadaan lengang setelah letusan. Dari balik gerbang kayu, mata Lam mencari-cari kemana perginya tubuh berseragam dengan rangsel tentara di gendongan. Dari lubang kecil, ekor matanya menangkap 1-2 kali kelebat bapaknya.
Ia perhatikan bapaknya berjongkok, sibuk memeriksa tubuh yang tergeletak di jalan. Sesaat kemudian pria itu menghilang dari pandangan Lam.
Hanya satu harapan Lam, bapaknya segera kembali dan melintas di depan gerbang tempatnya sembunyi. Suasana begitu sepi. Lama ia menanti dalam keadaan takut setengah mati.
Derap langkah sepatu memecah kesunyian. Makin lama terdengar makin jelas. Seseorang berlari bolak balik di dalam gang. Lam tak berani menggerakkan badan.
Sungguh ia khawatir seseorang mendengar nafasnya dan tiba-tiba datang menculiknya. Bagaimana bila disebabnya suatu hal ia tak bisa bertemu bapaknya lagi. Membayangkan saja Lam makin ketakutan.
Suara sepatu datang lagi, seperti tak mau pergi. Dengan sisa kekuatan, Lam memberanikan diri mengintip lagi. Rupanya doanya dikabulkan Tuhan. Ia melihat bapaknya mondar mandir, berlari kesana kemari dalam kebingungan.
"Pak ee...," teriak Lam terus menghambur keluar. Ia baru berani menampakkan diri dan berlari kegirangan.
Pria itu menyongsong anak perempuan yang sejak tadi dicarinya. Ternyata sembunyi dibalik pintu gerbang kayu rumah besar. Ia mendekap erat Lam seperti takut kehilangan. Kemudian memeriksa, seolah khawatir anaknya kurang satu apa.