------------
15 tahun sejak kejadian itu, orde baru berkuasa. Seorang anak perempuan berambut keriting menangis di depan gurunya. Ia siswa kelas enam SD yang beberapa hari lagi akan lulus.
"Saya yatim piatu Bu. Setelah lulus, mohon diperbolehkan ikut ibu. Saya bisa masak dan mencuci baju," pintanya.
"Kenapa kamu ingin ikut ibu. Kenapa gak ingin ikut bapak atau ibu guru lain yang sudah lama mengajarmu," tanya guru.
"Kalau ikut ibu, saya bisa belajar mengaji. Saya nyaman bersama ibu, sudah seperti ibu saya sendiri. Kalau ikut guru lain, saya takut," terang murid bernama Sur itu.
Guru itu ibuku, Romlah namanya. Bapak emaknya yang memberi nama. Namun sejak kecil dipanggil Lam. Dialek suku dari pelafalan yang salah. "Romlah" menjadi "Lam" dari "Lamrah". Lahir tahun 1957 di Bawean. Pulau kecil berjarak 120 Km sebelah utara laut Gresik.
Karena anak tentara, ia besar di Jawa. Sejak umur 2 tahun turut berpindah-pindah. mengikuti khidmat bapaknya mematuhi tugas negara. Entah bagaimana mulanya anak-anak tentara itu dijuluki "anak kolong".
Mengenyam Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun, kemudian menjadi guru agama di sekolah dasar negeri inpres di sebuah desa tertinggal di Tuban. Karir ibu tidak instan. Sembilan tahun sukwan, baru pengangkatan.
Tidak hanya di SD, ibu juga diminta mengajar ngaji beberapa wali murid. Murid-murid memanggilnya, Bu Rom. Sedang warga di desa itu biasa memanggilnya 'Guru Rom' atau 'Guru' saja.
"Kamu gak mau melanjutkan sekolah nak?," tanya ibu pada Sur.
"Nggih kepingin, tapi abang saya tak mampu," jelasnya.