Tanpa maksud mengecilkan peran bapak karena saya bisa membaca dan menulis justru berkat kesabaran beliau. Saya tidak boleh menghilangkan sejarah besar ini.
Bapak berperan dalam membantu saya memenyusun huruf-huruf menjadi kata. Hingga lancar merangkai kata dalam kalimat. Saya amat beruntung karena peran keduanya equal. Namun, perintah menulis, menulis dan menulislah.... itu datang dari ibu.
Ibuku pengajar di sekolah dasar. Ia mengajar agama. Buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah yang dibawanya pulang untuk bahan ajar, menarik minat saya untuk melahap isinya. Setiap hari berganti 4 atau 5 buku. Saya tak pernah jemu menanti buku baru yang dibawa pulang ibu.
Saya suka menyusun rapi buku-buku itu. Bisa makan waktu berjam-jam untuk menyusun. Sebab sambil melirik satu-satu, mana tahu ada buku cerita baru.
Dari tugas membantu merapikan buku-buku bahan ajarnya, saya makin suka buku. Saya jadi lihai memilah buku mana yang asyik dibaca dan mana buku yang hanya bisa dibaca ibu. Biasanya Buku yang tidak pernah bisa saya pahami adalah jenis buku-buku tebal berisi tabel-tabel yang rumit dimengerti anak usia 8 tahun kala itu.
Buku yang asyik-asyik biasanya terselip gambar diantara bab2nya. Judul yang masih kuingat diantaranya, kisah nabi-nabi, buku tentang Nabi Muhammad SAW, dongeng bawang merah bawang putih, kumpulan kisah rakyat Indonesia, kumpulan kisah rakyat Asia, dan masih banyak lainnya. Kebanyakan dari Penerbit Balai Pustaka.
Kedengaran rigid sekali, sampai harus mengingat nama penerbitnya. Saya terbiasa mencatat judul buku, nama pengarang, penerbitnya, tahun cetak dan terbitnya, jumlah halaman hingga tahun cetak ulang sebuah buku. Saya mencatatnya dalam buku khusus yang telah saya buatkan kolom-kolom untuk isian.
Kebiasaan ini saya mulai di kelas 3 SD. Entah apa maksud dan tujuannya. Saya hanya mengamalkan hal yang demikian itu atas petunjuk Kepala SDN 2 Bulujowo, Bancar, Tuban.
Seorang wanita yang cantik menik-menik bernama Suminah yang akrab dipanggil Bu Nik. Beliaulah yang menasehatiku banyak hal tentang literasi setelah saya berhasil mewakili SD sekecamatan untuk lomba mengarang dan menulis di Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) tingkat kabupaten.
Dalam lomba yang diselenggarakan di pendopo kabupaten itu secara fisik, sepertinya saya peserta terkecil. Apakah saya dari kelas paling rendah?
Saya tidak tahu. Besar atau kecil yang jelas semua harus mematuhi aturan lomba. Yakni, karya wajib ditulis dalam tulisan tangan. Menggunakan teknik menulis halus di dua halaman kertas folio bergaris yang telah disediakan panitia.