Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Memulai dengan Niat, Menulis Saja di Blog Perdana

10 November 2020   09:03 Diperbarui: 10 November 2020   09:10 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua belas jam lalu, 9 Nopember, saya dapat ucapan selamat. "Selamat akun anda telah berhasil divalidasi". 

Tentu saya senang karena akun ini baru saya miliki. Jangan tanya rasanya. Akan saya gambarkan saja. Begini, pernah menerima ucapan selamat saat membuat akun email baru, pertama kalinya dalam hidup? Nah, seperti itulah rasanya. Dan jujur, Kompasiana ini blog pertama saya.

Validasi akun saya tunggu sambil berdebar-debar selama 5 hari kerja. Seharusnya saya sudah bisa melakukan aktifitas di kompasiana. Mulai hanya komen saja, hingga menulis artikel pun sudah bisa dilakukan. 

Karena tidak pernah ngeblog, saya kagok. Mau nulis komen takut salah pencet. Bagaimana bila yang terposting malah hal lain. Dan lagi, saya menulis pakai android lama. Itu pun di tengah-tengah kesibukan saya mengurus wilayah domestik negara bernama rumah tangga.

Rasa malu sungguh melumpuhkan kepercayaan diri. Ditambah lagi kegaptekan yang hakiki ini berhasil menahan saya untuk tak melakukan apa-apa selama proses validasi.  

Apalagi menulis artikel.  Kok artikel, mau nulis hal remeh temeh begini saja perjuangan saya seperti hendak menyelesaikan pertempuran 10 november melawan tentara sekutu. Coba, betapa beratnya itu. 

Niat menulis sudah saya tata sejak saya memutuskan untuk registrasi akun. Nah, kabar validasi yang baru saya baca pagi hari ini melecut saya untuk segera menulis. Maka saya tulis saja hal-hal yang saya suka dan membuat bahagia.

Tantangan terbesar saya selama ini adalah tentang "memulai". Beratnya memulai pekerjaan menulis. Tapi masak dalam hidup saya harus kalah melulu pada jenis penyakit semacam itu. Jika terus begitu, kasihan ibu yang sudah sejak dini mengenalkan pada dunia literasi.

Literasi saya artikan sebagai istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, literasi tidak bisa dilepaskan dari kemampuan berbahasa. [1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Literasi

Tidak bisa dipungkiri, ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Tidak ada hal yang bisa menyangkal ungkapan tersebut. Sebab posisi ibu sebagai guru dan madrasah adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan semua orang.

Saya sendiri tanpa menyadari, hal-hal yang berkait dengan literasi justru saya dapat dari ibu. Mulai dari mendengar cerita dongeng, membaca buku hingga menulis. Ibulah yang mengenalkan saya pada buku. Pemilik bertumpuk-tumpuk buku di rumah adalah ibu.  

Tanpa maksud mengecilkan peran bapak karena saya bisa membaca dan menulis justru berkat kesabaran beliau. Saya tidak boleh menghilangkan sejarah besar ini. 

Bapak berperan dalam membantu saya memenyusun huruf-huruf menjadi kata. Hingga lancar merangkai kata dalam kalimat. Saya amat beruntung karena peran keduanya equal. Namun, perintah menulis, menulis dan menulislah.... itu datang dari ibu.

Ibuku pengajar di sekolah dasar. Ia mengajar agama. Buku-buku cerita dari perpustakaan sekolah yang dibawanya pulang untuk bahan ajar, menarik minat saya untuk melahap isinya. Setiap hari berganti 4 atau 5 buku. Saya tak pernah jemu menanti buku baru yang dibawa pulang  ibu.

Saya suka menyusun rapi buku-buku itu. Bisa makan waktu berjam-jam untuk menyusun. Sebab sambil melirik satu-satu, mana tahu ada buku cerita baru.

Dari tugas membantu merapikan buku-buku bahan ajarnya, saya makin suka buku. Saya jadi lihai memilah buku mana yang asyik dibaca dan mana buku yang hanya bisa dibaca ibu. Biasanya Buku yang tidak pernah bisa saya pahami adalah jenis buku-buku tebal berisi tabel-tabel yang rumit dimengerti anak usia 8 tahun kala itu.

Buku yang asyik-asyik biasanya terselip gambar diantara bab2nya. Judul yang masih kuingat diantaranya, kisah nabi-nabi, buku tentang Nabi Muhammad SAW, dongeng bawang merah bawang putih, kumpulan kisah rakyat Indonesia, kumpulan kisah rakyat Asia, dan masih banyak lainnya. Kebanyakan dari Penerbit Balai Pustaka.

Kedengaran rigid sekali, sampai harus mengingat nama penerbitnya. Saya terbiasa mencatat judul buku, nama pengarang, penerbitnya, tahun cetak dan terbitnya, jumlah halaman hingga tahun cetak ulang sebuah buku. Saya mencatatnya dalam buku khusus yang telah saya buatkan kolom-kolom untuk isian.

Kebiasaan ini saya mulai di kelas 3 SD. Entah apa maksud dan tujuannya. Saya hanya mengamalkan hal yang demikian itu atas petunjuk Kepala SDN 2 Bulujowo, Bancar, Tuban. 

Seorang wanita yang cantik menik-menik bernama Suminah yang akrab dipanggil Bu Nik. Beliaulah yang menasehatiku banyak hal tentang literasi setelah saya berhasil mewakili SD sekecamatan untuk lomba mengarang dan menulis di Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) tingkat kabupaten.

Dalam lomba yang diselenggarakan di pendopo kabupaten itu secara fisik, sepertinya saya peserta terkecil. Apakah saya dari kelas paling rendah? 

Saya tidak tahu. Besar atau kecil yang jelas semua harus mematuhi aturan lomba. Yakni, karya wajib ditulis dalam tulisan tangan. Menggunakan teknik menulis halus di dua halaman kertas folio bergaris yang telah disediakan panitia.

Saya harus mendeskripsikan tentang kampung halamanku. Cerita yang saya buat sepanjang satu setengah folio itu harus ditulis dalam huruf sambung, harus rapi dan indah. Saat itu saya hanya mampu menuliskan satu halaman saja. Cerita belum selesai, waktu lomba sudah usai. Jelas saya tidak akan menang

Meski tidak menyabet juara, lomba itu satu-satunya prestasi yang amat saya sukai masa kelas tiga. Terlebih, setelah balik dari lomba Bu Nik mempercayakan kunci perpustakaan sekolah pada saya. 

Sebuah hadiah luar biasa yang saya terima. Saya bisa leluasa membaca setiap istirahat sekolah tiba. Saya merapikan buku di rak-rak perpustakaan. Bila ada yang meminjam atau mengembalikan buku, saya yang bertugas mencatatnya sendiri. 

Bagi saya tanggung jawab itu sebuah tugas bergengsi yang pernah saya miliki. Di usia itu, saya merasa menjadi orang penting sedunia. Sehingga kekecewaan tidak menang lomba bisa sirna.

Kendati tidak menang di lomba menulis tingkat kabupaten, ibu selalu menyemangati untuk terus menulis. Menulislah banyak hal tentang daerah-daerah kepulauan. Maklum ibu saya berasal dari sebuah pulau terpencil yang masih masuk wilayah Jawa. Namun hingga detik ini saya belum bisa mewujudkan keinginan beliau. Mungkin suatu saat nanti. Insyaallah!

======@$@======

Ibu dan Ibu Guruku adalah pahlawanku. 

Di 10 Nopember 2010 tak lupa mengucap "Selamat hari pahlawan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun