Latar Belakang
Fenomena migrasi pekerja internasional menjadi salah satu dinamika utama hubungan antarnegara di era globalisasi. Setiap tahun, jutaan orang meninggalkan tanah air demi mencari peluang kerja yang lebih baik di luar negeri, memberikan kontribusi ekonomi baik bagi negara asal maupun negara tujuan. Namun, di balik manfaat ekonomi tersebut, pekerja migran kerap menghadapi risiko pelanggaran hak asasi manusia, eksploitasi, diskriminasi, dan minimnya perlindungan hukum.
Kerangka Hukum Internasional
Perlindungan pekerja migran diatur dalam berbagai instrumen internasional, salah satunya adalah Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICRMW) yang diadopsi PBB pada 1990 dan mulai berlaku pada 2003. Konvensi ini menjamin hak-hak dasar pekerja migran, seperti perlakuan adil, akses layanan sosial, dan perlindungan dari diskriminasi. Selain itu, International Labour Organization (ILO) juga menerbitkan standar seperti Konvensi ILO No. 97 dan No. 143 yang menekankan pentingnya penghormatan hak asasi manusia dan prinsip non-diskriminasi.
Komitmen Indonesia
Indonesia telah meratifikasi ICRMW melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2012, yang mewajibkan negara untuk mengimplementasikan standar perlindungan internasional ke dalam hukum nasional. Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) menjadi dasar hukum utama yang mengatur perlindungan pekerja migran dari tahap rekrutmen, penempatan, hingga pemulangan. Pemerintah juga aktif melakukan diplomasi perlindungan melalui perjanjian bilateral dengan negara tujuan utama pekerja migran Indonesia.
Tantangan Implementasi
Meskipun kerangka hukum sudah ada, implementasi perlindungan pekerja migran di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan:
- Maraknya jalur ilegal: Banyak pekerja migran berangkat melalui jalur non-resmi karena prosedur resmi dianggap rumit dan mahal, sehingga mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia dan eksploitasi.
- Kurangnya pengawasan: Agen perekrutan ilegal masih banyak beroperasi tanpa pengawasan ketat, memperbesar risiko pelanggaran hak.
- Koordinasi lemah: Koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan negara tujuan masih belum optimal, sehingga penanganan kasus pekerja migran bermasalah sering terhambat.
- Keterbatasan sumber daya: Lembaga perlindungan pekerja migran masih kekurangan anggaran dan tenaga ahli, sehingga program perlindungan belum berjalan maksimal.
- Penegakan hukum lemah: Banyak kasus kekerasan, pelecehan, dan pelanggaran kontrak kerja yang tidak ditangani secara serius, baik di dalam maupun luar negeri.
Studi Kasus Terkini
Data BP2MI menunjukkan bahwa pada Januari-Maret 2025 terdapat 22.376 penempatan pekerja migran Indonesia ke berbagai negara, namun pengaduan pelanggaran hak juga meningkat hingga 171 kasus pada Maret 2025, naik 48,7% dari tahun sebelumnya. Kasus pemulangan 569 pekerja migran dari Myanmar akibat perdagangan orang dan eksploitasi seksual di Uni Emirat Arab menjadi bukti nyata tantangan perlindungan pekerja migran Indonesia.
Upaya dan Rekomendasi
- Untuk memperkuat perlindungan hukum pekerja migran, diperlukan langkah-langkah strategis, antara lain:
- Memperketat pengawasan dan sanksi terhadap agen perekrutan ilegal.
- Menyederhanakan prosedur penempatan agar lebih mudah diakses.
- Meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan negara tujuan.
- Memperkuat kapasitas lembaga perlindungan dan sosialisasi hak-hak pekerja migran.
- Menegakkan hukum secara tegas terhadap pelanggaran hak pekerja migran.
- Mengembangkan program reintegrasi sosial dan ekonomi bagi pekerja migran yang kembali ke tanah air.
- Memperkuat diplomasi internasional melalui perjanjian bilateral yang komprehensif.