"Ih, jorok banget sih. Masa ke sekolah pake sepatu kayak gitu? Malu-maluin kelas aja, lo!" cibir Clarissa.
Aku tahan air mataku. Masuk kelas, duduk di pojok seperti biasa. Sendiri. Dan memang aku selalu sendiri.
Saat jam istirahat, aku tidak ke kantin di saat siswa lainnya berhamburan. Tidak punya uang jajan. Aku hanya duduk di perpustakaan, pura-pura baca buku. Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan dari balik rak buku.
"Kasihan juga ya si Painem," suara Jessica pelan.
"Ah, jangan sok baik lo, Jes. Kemarin lo juga yang bilang dia bau," sahut Clarissa.
"Iya sih. Tapi gue denger dari Bu Ratna, bapaknya dia cuma tukang parkir. Ibunya udah meninggal. Kasihan kan?"
"Terus kenapa? Emang salah gue kalo dia miskin? Gue juga punya masalah, tau!"
Aku mengepalkan tangan. Mereka membicarakanku seperti aku ini bagaikan tontonan bagi mereka. Sepertinya kemiskinan itu hiburan buat mereka.
Sepulang sekolah, aku lewat toko sepatu di pasar PD Jaya Jatinegara. Di etalase toko itu masih ada sepatu putih bersih yang sempat aku taksir saat itu, jauh sebelum ibu sakit lalu pergi meninggalkan kami berdua. Ibu sudah pernah janji akan menghadiahiku sepatu itu. Harganya Rp. 350.000. Aku pegang uang recehan di saku. Rp. 5.000. Hasil nabung seminggu.
Tiba-tiba ada tangan menepuk bahuku. Aku kaget. Pak Budi, guru BK.
"Painem, kebetulan sekali Bapak ketemu kamu di sini. Ikut Bapak sebentar, ya!"