Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bom Bunuh Diri, Gangguan Mental, dan Cuci Otak

27 Mei 2017   21:34 Diperbarui: 29 Juni 2018   02:31 2521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuci otak (charlessledge.com)

Sebetulnya, kemiskinan parah yang berlarut-larut--yang membuat siapapun mengalami stres dan depresi, juga berubah watak menjadi sangat sensitif dan agresif, dan menanggung beban mental yang sangat berat seperti ketakutan dan kecemasan--membuat bagian pemroses emosi (dan memori jangka panjang) dalam otak yang dinamakan sistem limbik (mencakup amygdala, thalamus, hippokampus, hypothalamus, basal ganglia, dan cingulate gyrus) “overloaded”, kelebihan muatan.

Akibatnya, sistim limbik ini meneruskan beban neural stres dan rasa takut yang berlebihan ini ke bagian otak yang ada di depannya, yakni lobus prafrontalis yang menjadi semacam CPU bagi kecerdasan dan aktivitas bernalar untuk menyelesaikan masalah, merencanakan tujuan dan sasaran serta melaksanakan tugas dan kewajiban.

Penerusan beban stres mental ini dari sistim limbik membuat lobus prafrontalis tidak leluasa, tak penuh dan tidak lentur lagi bekerja dengan efisien. Kondisi neural inilah yang menyebabkan orang yang hidup dalam kemiskinan jangka panjang kurang atau tidak mampu lagi berpikir cerdas, rasional, terfokus dan kritis. 

Mereka tidak semua dilahirkan bodoh, tetapi kemiskinan parah jangka panjang menjadi salah satu faktor utama yang membuat mereka kurang berakal dan tidak mampu berargumentasi rasional dan memenuhi tugas dan tanggungjawab sosial yang sehat./4/

Alhasil, mereka menjadi rentan dan submisif terhadap indoktrinasi, cuci otak, janji-janji kehidupan baka yang terbebas dari penderitaan dan tirani yang dibayang-bayangkan, saat sedang direkrut menjadi para teroris.

Jadi faktor utama yang menciptakan para teroris memang indoktrinasi dan “brainwashing”, yang prosesnya jauh lebih mudah dijalankan dan hasilnya cepat didapat oleh para perekrut jika dijalankan pada orang-orang yang berjiwa rapuh dan submisif pada janji-janji pembebasan sekaligus agresif. 

Nah, kerapuhan dan kerentanan psikologis ini, serta sifat submisif dan agresif, tidak sedikit juga timbul dari kemiskinan jangka panjang yang tidak mau diatasi khususnya oleh mereka sendiri. Ya karena aktivitas lobus prafrontalis dalam otak mereka sudah sangat lemah, seandainya belum padam.

Mereka, sekali lagi saya tekankan, tidak dilahirkan bodoh, tetapi lingkungan kehidupan mereka yang keras dan miskin menjadikan mereka lambat laun tidak mampu berpikir rasional untuk mencari jalan keluar dari masalah-masalah mereka sendiri yang rumit dan multidimensional. 

Dengan demikian, pihak-pihak luar (yang terpelajar dan tidak miskin, tapi menganut suatu belief system yang ekstrim radikal) dengan mudah mengintervensi kehidupan dan isi pikiran mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang membahayakan masyarakat dan dunia. Mereka adalah makanan-makanan empuk bagi para perekrut radikalis ekstrimis.

Tentu saja, perilaku teroris dan ideologi terorisme adalah suatu jejaring fenomena yang kompleks. Ada sejumlah faktor lain yang tidak dibeberkan pada kesempatan ini. 

Selain sikon sosiologis, kondisi kesehatan otak, dan psikologi, ada faktor-faktor lain yang ikut melahirkan para teroris, yakni biologi (khususnya genetika), dan elemen-elemen environmental seperti pendidikan dan pengasuhan, lingkungan pergaulan, kultur keluarga, sistem kepercayaan atau ideologi religiopolitik, dan gaya hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun